Rabu, 14 Oktober 2015

Makalah hukum udara dan ruang angkasa, batas wilayah darat, laut, udara dan pengaturan FIR

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
       Indonesia yang telah menjadi anggota organisasi penerbangan sipil internasional sejak 20 April 1950 telah menyempurnakan Undang-undang Nomor. 19 tahun 1992 dengan Undang-undang Nomor. 1 tahun 2009, Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 disusun dengan mengacu pada Konvensi Chicago 1944 dan memperhatikan kebutuhan pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena itu Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 mengatur kedaulatan atas wilayah udara Indonesi, pelanggaran wilayah kedaulatan, prouksi pesawat udara, pendaftaran, dan kebangsaan pesawat udara, kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara, keselamatan dan keamanaan didalam pesawat udara, pengadaan pesawat udara, asuransi pesawat udara, independensi, investigasi kecelakaan pesawat udara, pembentukan majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggaraan pelayanan umum, berbagai jenis angkutan udara baik niaga berjadwal, tidak berjadwal maupun niaga dalam negeri maupun luar negeri, modal harus single majority shares tetap berada pada warganegara indonesia atau badan hukum indonesia, persyaratan minimum mendirikan perusahaan penerbangan baru harus mempunyai sepuluh pesawat udara, lima dimiliki dan lima dikuasai, perhitungan tarif transportasi udara berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tambahan, pelayanan bagi[1] penyandang cacat, orang lanjut usia, anak dibawah umur, pengangkutan bahan dan atau barang berbahaya (dangerous goods) ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, komponen tanggung jawab pengangkut, asuransi tanggung jawab pengangkut, tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga (thrid parties liability), tatanan kebandarudaraan baik lokasi maupun persyaratannya, obstacles, perubahan iklim yang menimbulkan panas bumi sumber daya manusia baik dibidang operasi penerbangan, teknisi bandar udara maupun navigasi penerbangan, fasilitas navigasi penerbanga, otoritas bandar udara, pelayanan bandar udara, keamanan penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan (single air service provider), penegakan hukum, penerapan sanksi administratif yang selama ini tidak diatur, budaya keselamatan penerbangan, penanggulangan tindakan melawan hukum, dan berbagai ketentuan baru yang sebelumnya tidak diatur, guna mendukung keselamatan transportasi udara nasional maupun internasional.
       Jiwa dari Undang-undang ini bermaksud memisahkan regulator dan operator sehingga fungsi, tugas, dan tanggung jawab masing-masing jelas disamping itu, Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 juga bermaksud memberi kesempatan kepada swasta dan pemerintah daerah untuk ikut serta berperan dalam pembangunan penerbangan di Indonesia. Undang-undang ini mengatur perubahan yang signifikan, sebab semula hanya 103 pasal dalam perkembangan membengkak menjadi 466 pasal.[2]

B.     Rumusan Masalah
Masalah yang dapat ditarik dari uraian diatas adalah:
1.      Bagaimana kedaulatan negara di udara jika dilihat dari batas wilayah daratan, perairan, dan udara?
2.      Bagaimana pelanggaran terhadap kedaulatan diwilayah udara?
3.      Bagaimana pengaturan Flight Information Region?








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Batas Wilayah Kedaulatan Negara
            Wilayah udara nasional berdasarkan pasal 1 konvensi Paris 1919 secara tegas menyatakan: negara-negara pihak mengakui bahwa tiap-tiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang terdapat diatas wilayahnya. Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang terdapat dalam konvensi Paris 1919. Kedua konvensi tersebut dengan sengaja menjelaskan bahwa wilayah negara juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan.
            Hal ini juga dinyatakan pasal 2 konvensi Janewa mengenai laut wilayah dan oleh pasal 2 ayat 2 konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982. Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap navigasi udara, termasuk udara diatas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pelayaran maritim terutama tidak ada norma-norma hukum kebiasaan yang memperbolehkan secara bebas lintas terbang diatas wilayah negara, yang dapat disamakan dengan prinsip hak lintas damai di perairan nasional suatu negara. Sebagai akibatnya, kecuali jika ada kesepakatan konvensional lain, suatu negara dapat mengatur dan bahkan melarang pesawat asing terbang diatas wilayahnya dan tiap-tiap penerbangan yang tidak diizinkan merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan teritorial negara yang berada dibawahnya.
            Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamanan atas pesawat-pesawat udara merupakan aspek yang sangat penting dalam pengaturan-pengaturan hukum yang dibuat oleh negara-negara. Negara-negara sering membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral atau regional dibidang kerjasama pengawasan ataupun keamanan. Sebagai contoh kerjasama ini adalah konvensi 13 Desember tahun 1960 dimana sejumlah negara Eropa menyerahkan penanganan masalah ini kepada organisasi Eropa untuk keamanan navigasi udara (Euro Control) yang direvisi pada tahun 1981.
            Disamping itu, dalam kegiatan lalu lintas udara nasional sering terjadi pelanggaran kedaulatan suatu negara oleh pesawat sipil maupun militer.  Dalam hal ini negara yang kedaulatan udaranya di langgar dapat menyergap pesawat asing tersebut dan diminta untuk mendarat. Sepanjang menyangkut pesawat sipil, negara yang kedaulatannya dilanggar tidak boleh menggunakan tindakan balasan tanpa batas. Tindakan yang diambil harus bersifat bijaksana dan tidak membahayakan nyawa para penumpang yang ada dalam pesawat. Ketentuan ini yang mengakomodasikan kedaulatan teritorial negara dan konsiderasi kemanusiaan yang mendasar dan yang harus berlaku bagi semua orang, diingatkan dan ditegaskan oleh protokol Montreal 1983 yang memuat amandemen terhadap pasal 3 konvensi Chicago dan diterima pada tanggal 10 mei 1984, sebagai akibat dari peristiwa penembakan Boing 747 Korean Airlines 1 september 1983.[3]
            Kedaulatan suatu negara di ruang udara diatas wilayah teritorialnya bersifat utuh dan penuh. Ketentuan ini merupakan salah satu tiang pokok hukum Internasional yang mengatur ruang udara. Sifat kedaulatan yang penuh dari negara di ruang udara nasionalnya tersebut berbeda, misalnya dengan sifat kedaulatan negara di laut wilayahnya. karena sifatnya yang demikian, maka diruang udara nasional tidak dikenal hak lintas demi pihak asing seperti terdapat dilaut terotorial suatu negara.[4]
            Negara berdaulat adalah, negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi bebas dari kekuasaan negara lain, bebas dalam arti seluas-luasnya baik ke dalam maupun keluar, namun demikian tetap harus memperhatikan hukum internasional serta sopan santun dalam pergaulan internasional lainnya. Sampai saat ini belum ada konvensi internasional yang secara khusus mengatur wilayah suatu negara yang meliputi wilayah darat, pelaut maupun udara. [5]
            Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tengtang penerbangan yang disahkan pada tanggal 17 desember 2008 dan mulai berlaku pada tanggal 1 januari 2009 , sangat menjanjikan terhadap pertumbuhan pengangkutan udara di indonesia karena Undang-Undang tersebut secara kompherensif berlaku secara extra teritorial, mengatur kedaulatan atas wilayah udara indonesia, pelangaran wilayah kedaulatan, produksi pesawat udara, pendaftaran dan kebansaan pesawat udara, kelaikudaraan dan pengoprasian pesawat udara, dan sebagainya.[6]
1.      Batas wilayah Daratan
            Wilayah datan adaah tanah dalam batas wilayah negara termasuk semua permukaan bumi beserta benda-benda apa saja yang ada diatas maupun didalam kandungan bumi tersebut. sebagai negara berdaulat, negara tersebut dapat membuat terowogan, menempatkan kabel listrik, telepon, telegraf, menggali benda-benda tambang.
            Batas wilayah daratan biasanya diatur dalam perjanjian internasional timbal balik dengan negara tetangga. Berbagai perjanjian perbatasana dibuat dengan negara tetanga karena perbatasan wlayah sering merupakan sumber sengketa. Dalam hubungan ini indonesia telah mempunyai perjnjian perbatasan antara lain perjanjian perbatasan antara indonesia dengan australia mengenai Garis-Garis Batas tertentu antara indonesia dengan Papua New Guinea. Dikatakan bahwa demi kepentingan politis dan fisik antara indonesia dengan Papua New Guinea perlu ditetapkan garis batas yang tetap. Perlu dicatat disini bahwa perjanjian perbatasan trsebut untuk memperbaiki perjnjian antara belanda dengan inggris yang ditandatangani pada 1895 mengenai batas Irian Timur dan Irian Barat.
            Dalam konteks kedaulatan sebuah negara yang memiliki perbatasan darat seperti Indonesia dengan Malaysia, maka perbatasan merupakan kawasan yang strategis dan vital dalam konstelasi negara kesatuan Republik Indonesia, Karena memiliki potensi sumber daya alam dan peluang pasar, karena kedekatan jaraknya dengan negara tetangga. Sementara dikatakan vital karena secara politik kawasan perbatasan berkaitan dengan persoalan kedaulatan negara, pertahanan, keamanan, dan rasa kebangsaan.[7]
 Batas wilayah suatu negara dapat dibatasi secara alamiah seperti perbatasan antara Amerika Serikat dengan Kanada menggunakan sungai niagara atau batas buatan berupa garis yang menhubungkan antara satu titik dengan titik lain. Batas tersebu berlaku keatas secara vertikal ke udara atau kebawah sampai sumber-sumber mineral dibawah tanah negara tersebut. penentuan  batas suatu negara semula diatur dalam document, kemudian diikuti dengan titik. Penrntuan dalam dokumen disebut delimination  termasuk uraian tanda-tanda batas, garis-garis batas dan tanda-tanda dalam peta, sedangkan penandaan batas pada titik dilokasi disebut demarcation .
2.      Batas wilayah perairan
            Batas wilayah perairan indonesia berdasarkan Deklarasi Juanda tahun 1957 yang dikukuhkan dengan Perpu Nomor 4 Tahun 1960, ditetapkan batas laut territorial 12 mil diukur dari setiap titik-titik pulau terluar termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya maupun udara diatasnya. Dengan berlakunya UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi oleh indonesia berdasarkan undang-undang Nomor 17 tahun 1985, memperlkuat legitimasi kedudukan Indonesia yang telah menetapkan laut territorial 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal.
            Wilayah perairan nasional terdiri dari laut territorial beserta perairan pedalaman yang meliputi semua air yang terletak pada sisi dalam garis dasar, perairan sungai, peraiarn danau, perairan teluk, prairan terusan, perairan pelabuhan. Garis dasar atau tidak pada garis dasar terdiri dari garis-garis lurus yang menghubungkan titik-tiik terluar pada titik air rendah pada pulau-pulau atau bagian-bagian pulau terluar dalam wilayah suatu negara.
            Perairan teluk adalah air yang berbatasan dengan daratan dalam suatu wilayah negara, sdangkan perairan terusan adalah air yang berbatasan dengan dua daratan. Didalam wilayah perairan negara berdaulat berhak menempatkan kabel telegraf, telepon, navigasi, mengeksploitasi segala sumber daya di perairan termasuk benda-bnda tambang lapisan tanah dibawah dasar air serta kandungannya.[8]
3.      Batas wilayah udara
a.       Batas wilayah udara secara horizontal
Penulis belum menemukan sikap indonesia mengenai batas wilayah udara secara horizontal , namun demikian sebagai salah satu negara anggota organisasi penerbangan sipil internasional, penulis menafsirkan bahwa batas wilayah udara secara horizontal mengacu pada pasal 2 konvensi Chicago 1944, yaitu diatas laut teritorial sampai ketinggian tidak terbatas sebagai mana di tafsirkan oleh mahkamah internasional sserta mengingat posisi indonesia di khatulistiwa dan salah satu peserta deklarasi bogota 1976.
b.      Batas wilayah udara serta vertikal
Di Indonesia wilayah udara di atur dalam Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 tidak secara tegas mengatur kedaulatan di udara, namun demikian bukan berakti bahwa Undang-undang Nomor 83 Tahun 1958 tidak mengatur sama sekali kedaulatan di udara, karena hal itu dapat di simpulkan dari berbagai pasal antara lain pasal 1 huruf (c) yang mengatur wilayah untuk keperluan penerbangan, pasal 8 yang mengatur pengangkutan udara niaga. Wilayah penerbangan di indonesia terdiri atas Flight Information Region (FIR), Upper information Region (UIR) , dan lain-lain. Wilayah udara ditetapkan berdasar pertimbangan keamanan nasional (national sovereignty) sedangkan wilayah penerbangan berdasarkan pertimbangan keselamatan penerbangan yang disepakati secara internasional berdasarkan keputusan Regional Air Navigation (RAN) meeting di Bangkok setiap sepuluh tahun sekali , di mana Indonesia ikut menentukan, karea itu kadang-kadang dapat terjadi wilayah kedaulatan udara tidak sejalan dengan wilayah penerbangan.[9]
           

            Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 yang tidak secara tegas mengatur wilayah udara, di dalam Undang-undang no 15 Tahun 1992, Negara Republik Indonesia bedaulat penuh dan atas wilayah udara republik Indonesia berhak melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, keselamatan penerbangan, dan ekonomi nasional.
            Berdasarkan kewenangan tersebut di atas, pemerintah Republik Indonesia menetapkan kawasan udara terlarang untuk kepentingan pertahanan dan keselamatan penerbamgan. Pesawat udara indonesia maupun pesawat udara asing di larang terbang melalui kawasan udara terlarang, kawasan udara terlarang tersebut hanya digunakan untuk pesawat udara negara. Pesawat udara sipil yang melanggar kawasan udara terbatas diperingatkan dan diperintahkan meninggalkan wilayah tersebut oleh petugas lalu lintas penerbangan.[10] Terhadap  pesawat udara asing yang melanggar larangan terbang tersebut dapat dipaksa untuk mendarat di pangkalan udara atau bandar udara di dalam wilayah Republik Indonesia.
            Wilayah udara juga diatur dalam Bab IV dari pasal 5 sampai dengan pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009. Menurut bab tertentu , Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan ekslusif atas wilayah udara indonesia. Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan di wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional , pertahanan dan keamanan negara , sosial budaya , serta lingkungan udara.
            Berdasarkan UU No. 1 tahun 2009 asas cabotage merupakan hak preogratif negara berdaulat yang diakui dalam pasal 7 Konvensi Chigago 1944. Menurut pasal tersebut setiap negara berhak menolak memberikan izin pesawat udara asing yang melakukan pengangkutan penumpang, barang, dan pos secara komersial dalam negeri.[11]
            Pesawat udara yang melanggar wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesian tersebut di peringatkan dan diperintahkan untuk meninggalkan wilayah tersebut oleh personel pemandu lalu lintas penerbangan. Pesawat udara yang akan dan telah memasuki kawasan udara telarang dan terbatas tersebut diperingatkan dan diperintahkan untuk meninggalkan wilayah tersebut oleh personel pemandu lalu lintas penerbangan. Dalam hil peringatan dan perintah tidak ditaati , dilakukan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara negara untuk ke luar dari wilayah negara kesatuan republik indonesia atau kawas udara terlarang dan terbatas atau untuk mendarat dipangkalan udara atau bandar udara tertentu didalam wilayak kesatuan republik indonesia. Personel pesawat udara, pesawat udara, dan seleruh muatanya yang melanggar kawasan udara telarang diperiksa dan disidik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.[12]

            Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 , Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 maupun Undang-Undang No 1 Tahun 2009, tidak ada pengaturan batas wilayah udara secara vertikal , karena itu dalam praktik mengikuti hukum kebiasaan internasional sebagaimana sebagaimana di jelaskan di atas. Berdasarkan praktik hukum kebiasaan internasional tersebut , maka kedaulatan republik indonesia secara vertikal juga tergantung pada kemampuan indonesia mempertahankan kedaulatan di udara.

B.     Pelanggaran Terhadap Kedaulatan di Wilayah Udara
            Di Indonesia zona larangan terbang terdapat dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 tahun 1992. Menurut pasal tersebut Indonesia berhak menetapkan zona larangan terbang atas dasar pertimbangan pertahanan keamanan dan keselamatan penerbangan. Namun Undang-undang Nomor 15 tahun 1992 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan. Menurut pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara, Indonesia melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan, dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara, karena itu pemerinatah dpat menetapkan zona larangan atau pembatasan terbang.   Bilamana terdapat pesawat udara yang melanggar  zona larangan personel lalu lintas udara akan menginformasikan bahwa adanya pesawat udara yang melanggar zona larangan kepada aparat yang bertugas dibidang pertahanan negara. Dalam hal perinagtan dan larangan tidak ditaati, maka dilakukan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara negara (state aircraft) untuk keluar wilayah indonesia atau zona larangan untuk mendarat dipangkalan udara terdekat, kemudian semua awak pesawat beserta muatannya diperiksa dan disidik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.[13]
            Dalam praktiknya larangan tersebut tidak terbatas alasan pertahanan dan keamanan umum, tapi juga alasan ekonomi dan keselamatan penerbangan, misalnya pesawat udara tidak boleh terbang di atas Bontang, karena Bontang merupakan sumber devisa negara yang berpotensi menghasilkan gas alam, demikian juga zona larangan terbang atas pertimbangan keselamatan penerbangan seperti dalam hal terjadi gunung meletus seperti pernah terjadi pada saat gunung Galunggung tahun 1982 atau gunung Merapi di Jawa Tengah pernah meletus sehingga pesawat udara dilarang terbang diatasnya.  
            Di Indonesia paling tidak pernah terjadi empat kali pelanggaran kedaulatan wilayah di udara, salah satunya adalah pelanggaran yang dilakukan oleh pesawat udara militer F-18 Hornet milik Amerika Serikat. Beberapa waktu lalu pesawat tersebut melakukan penerbangan diatas pulau Bawean yang mengadakan manuver diatas kapal yang sedang dikawal. Peristiwa tersebut sempat menjadi bahan polemik di media masa karena pesawat udra militer tersebut belum memperoleh diplomatic clearance yang dikeluarkan oleh kementerian pertahanan. Menurut keterangannya pesawat tersebut telah mengajukan oermohonan izin tetapi izin tersebut belum diperoleh pesawat udara sudah terbang diatas pulau Bawean.
            Sebagaimana diketahui bahwa International Maritime Organization (IMO) pada 1998 telah menyetujui tiga alur laut perairan negara kepulauan I, II, III masing-masing untuk Indonesia bagian barat, tengah, dan timur, namun demikian tampaknya Amerika Serikat tetap pada menginginkan alur laut perairan kepulauan seperti biasanya yang membelah wilayah Indonesia Utara-Selatan, Barat-Timur seperti biasanya. Amerika Serikat tampaknya mencoba memancing reaksi Indonesia apabila pesawat militer Amerika Serikat tidak mematuhi ketentuan UNCLOS 1982, karena  Amerika Serikat sejak semula secara tegas tidak mau meratifikasi UNCLOS. Amerika Srikat menafsirkan UNCLOS hanya berlaku bagi negara anggota, sedangkan bagi negara anggota tidak berlaku.
            Penafsiran Amerika sebenarnya kurang tepat, karena UNCLOS merupakan Universal Law yang mengikat kepada negara mana pun, terlepas menjadi anggota atau tidak. Secara yuridis, UNCLOS merupakan Law Making Treaty yang berlaku epada negara mana pun, bukan bersifat Treaty Contract yang berlaku terhadap negara anggota. Hal ini secara tegas dapat dibaca dalam pasal 3 dan pasal 8 UNCLOS. Dengan demikian tindakan F-18 Hormet militer Amerika Serikat diatas pulau Bawean beberapa waktu yang lalu, kemungkinan bersifat provokatif mencoba bagaimana reaksi Indonesia apabila terjadi pelanggaran terhadap UNCLOS yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 17 tahun 1985.
            Berdasarkan hukum Internasional, walaupun F-18 Hormet melakukan manufer yang melanggar hukum nasional Indonesiadan hukum Internasional, tidak dapat dipaksa harus mendarat dipangkalan udara terdekat, karena F-18 Hormet tersebut merupakan pesawat udara negara (state aircraft). Dalam hukum Internasional pesawat udara negara tidak boleh disidik atau diperiksa oleh pejabat penyidik, namun demikian pesawat udara negara, khususnya F-18 Hormet dapat diusir oleh pesawat udara negara Indonesia dalam hal ini pesawat TNI, keluar wilayah wilayah kedaulatan RI. Dalam hal ini pelanggaran wilayah udara yang dilakukan oleh pesawat udara F-18 Hormet, pemerintah Indonesia dapat protes melalui saluran diplomatik, dalam hal ini Departemen Luar Negeri ke Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.[14]

C.    Flight Information Region
            Kedaulatan wilayan negara tidak terlepas dari pengaturan ruang udara (airspace) diatas wilayah teritorial yang disebut flight information region (FIR). Pelayanan FIR diatas kedaulatan suatu negara dapat didelegasikan kepada negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Dalam pasal 262 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 diatur pelayanan ruang udara diatas wilayah RI . menurut pasal tersebut, pelayanan ruang udara yang didelegasikan oleh negara lain atau Organisasi Penerbangan Sipil Internasional dan sebaliknya ruang udara diatas wilayah Indonesia juga didelegasikan kenegara lain berdasarkan perjanjian, khususnya wilayah udara atau Flight Information Region (FIR) diatas pulau Natuna. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 secara tegas bahwa pelayanan FIR yang didelegasikan kepada negara lain, khususnya Pulau Natuna  dalam kurun waktu 15 tahun terhitung sjak UU No. 1 tahun 2009 berlaku harus sudah dikembalikan kepada Indonesia.
            Secara yuridis, tidak perlu disangsikan lagi bahwa Indonesia berhak untuk mengambil alih FIR diatas kepulauan Natuna dari pengawasan Singapura, walaupun Indonesia harus menyediakan semua fasilitas, sumber daya manusia serta pelayanan yang harus bersaing dengan Singapura. Sebagai negara berdaulat, Indonesia mempunyai kewajiban internasional untuk memberi pelayanan navigasi penerbangan yang memadai sesuai dengan ketentuan pasal 28 Konvensi Chicago 1944.[15]







BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan
Wilayah udara nasional berdasarkan pasal 1 konvensi Paris 1919 secara tegas menyatakan: negara-negara pihak mengakui bahwa tiap-tiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang terdapat diatas wilayahnya. Kedaulatan suatu negara di ruang udara diatas wilayah teritorialnya bersifat utuh dan penuh.
Di Indonesia zona larangan terbang terdapat dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 tahun 1992. Menurut pasal tersebut Indonesia berhak menetapkan zona larangan terbang atas dasar pertimbangan pertahanan keamanan dan keselamatan penerbangan. Namun Undang-undang Nomor 15 tahun 1992 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan. Tujuan dari penetapan zona  larangan tidak terbatas karena alasan pertahanan dan keamanan umum, tapi juga alasan ekonomi dan keselamatan penerbangan.  Setiap pesawat udara yang melintasi zona larangan terbang dapat dihentikan di bandar udara terdekat oleh aparat keamanan negara, yakni TNI untuk diperiksa.
 Dalam hal kedaulatan wilayah  negara nasional,  pengaturan ruang udara (airspace) diatas wilayah teritorial yang disebut flight information region (FIR). Pelayanan FIR diatas kedaulatan suatu negara dapat didelegasikan kepada negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional.

B.     Saran
Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamanan atas pesawat-pesawat merupakan aspek sangat penting dalam pengartran-pengaturan yang dibuat oleh negara-negara, khususnya pengaturan tentang zona larangan terbang. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum udara internasional maupun hukum udara nasional. Prinsip-prinsip tersebut menjadi acuan negara-negara dalam mempertahankan kedaulatan maupun yuridiksi negaranya. Maka sanagt jelas bahwa prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum udara internasional maupun nasional sangat penting untuk ditaati negara-negara lain. 













Daftar Pustaka
Martono dan Amad Sudiro, Hukum Udara Nasional Dan Internasional Publik (public international and national air law, PT. Rajawali Prrees, Jakarta, 2012

Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan ungsi dalam Era Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung, 2011

May Rudi, Hukum Internasional 2, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006

H.k martono dan Agus Pramono,Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional, PT. RajaGrafindo Persada , Jakarta, 2013

Satu Arifin, Hukum Perbatasan Darat Antar Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2014

H.K. Martono, Hukum Penerbangan Berdasarkan UU RI No. 1 tahun 2009, Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 107

H.K. Martono dan AhmadSudiro, Hukum Angkutan Udara, Rajawali Press, Jakarta, 2010






[1] Martono dan Amad Sudiro, Hukum Udara Nasional Dan Internasional Publik (public international and national air law, PT. Rajawali Prrees, Jakarta, 2012, hlm. 233
[2] Ibid., hlm. 234
[3] Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan ungsi dalam Era Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung, 2011, hlm. 431-432
[4] May Rudi, Hukum Internasional 2, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 32
[5] Martono dan Amad sudiro. Op.cit .hlm.54
[6] H.k martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional, PT. RajaGrafindo Persada , Jakarta, 2013, hal .188
[7] Satu Arifin, Hukum Perbatasan Darat Antar Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 48
[8] Ibid, hlm. 256
[9] H.k martono dan Agus Pramono, Op., Cit, hlm. 257
[10] H.K. Martono, Hukum Penerbangan Berdasarkan UU RI No. 1 tahun 2009, Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 107
[11] H.K. Martono dan Ahmad Sudiro, Hukum Angkutan Udara, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hlm. 50
[12] Ibid., hlm.  258
[13] H.k martono dan Agus Pramono, Op., Cit,  hlm 260-261
[14] Ibid.,  hlm262-263
[15]H.k martono dan Agus Pramono,  Op., Cit,  hlm 267

Tidak ada komentar:

Posting Komentar