Rabu, 14 Oktober 2015

makalah Hukum Internasional Khusus

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan semesta alam. Berkat rahmat, taufik serta hidayah-nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “judul makalah”.
Dalam penyusunannya, penulis dapat memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua tercinta (Alm. Bapak Suripto dan ibu Juminah) yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun penulis berharap isi makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritikan dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.


Pekanbaru, Februari 2014
Penulis






Daftar isi

Daftar isi.............................................................................................................. i
Kata pengantar................................................................................................. ii...........
Bab I Pendahuluan
A.   Latar Belakang Masalah.................................................................... iii
B.   Identifikasi Masalah............................................................................ iv
C.   Tujuan penulisan................................................................................ iv
D.   Sistematika penulisan......................................................................... v
Bab II Pembahasan
A.   Defenisi Hukum Humaniter............................................................... 1
B.   Tujuan Hukum Humaniter................................................................. 3
C.   Asas dan Prinsip Hukum Humaniter............................................... 4
D.   Jenis-jenis Konflik............................................................................... 6
E.   Cara dan Alat Perang......................................................................... 7
F.    Akibat-akibat pecahnya perang atau konflik................................ 12
G.   Cara-cara mengakhiri perang dan permusuhan......................... 12
H.   Hubungan Hukum Humaniter dengan HAM............................... 17
Bab III Penutup
A.   Kesimpulan........................................................................................ 20
B.   Saran................................................................................................... 20
C.   Daftar Pustaka................................................................................... 21





Bab I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Hukum Humaniter Internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Untuk menghindari penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad ke-19 negara-negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional dalam suatu konvensi yang mereka setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172). Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.
Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan hukum perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat pandfangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak Asasi Manusia, baik dalam pada masa perang maupun damai.
Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa bangsa. Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisantulisan mengenai hukum perang.
Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalamanpengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.
Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.


B.     Identifikasi Masalah
Dalam penulisan makalah ini, permasalahan-permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui defenisi perang dan hukum humaniter
2.      Akibat-akibat  pecahnya perang atau konflik
 3.     Cara-cara mengakhiri perang

C.    Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan  penulis dalam menyusun proposal ini tiada lain adalah sebagai tugas mata kuliah Hukum Internasional Khusus yang di berikan oleh Dosen pembimbing sebagai bahan diskusi dalam proses pembelajaran bersama pada semester Empat Universitas Islam Riau

D.    Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan di bagi menjadi beberapa bagian

BAB I  Pendahuluan
Pendahuluan berisikan : Latar belakang. Identifikasi masalah, tujuan penulisan, sistematika penulisan

BAB II Pembahasan
Pembahasan dalam bab ini berisikan isi/penyelesaian dari identifikasi masalah

BAB III Penutup
Penutup dalam bab ini berikan Kesimpulan, Saran dan Daftar pustaka
















BAB II
Pembahasan

A.   Defenisi Hukum Humaniter
Perang dalam pengertian umum yang telah diterima yaitu suatu pertandingan antara dua negara atau lebih terutama dengan angkatan bersenjata mereka, tujuan terakhir dari setiap kontestan atau masing-masing kelompok kontestan adalah untuk mengalahkan kontestan-kontestan lain dan membebankan syarat-syarat perdamaiannya. 
Menurut Karl Von Clausewitz perang adalah perjuangan dalam skala  besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukkan lawannyayaguna memenuhi kehendak.
Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum humaniter adalah sebagai dari hukum perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang; seperti mengenai senjata-senjata yang dilarang. Konvensi Janewa identik atau sinonim dengan hukum atau konvensi-konvensi humaniter sedangkan hukum perang atau konvensi-konvensi Den Haag mengatur tentang cara melakukan peperangan.
Hukum perang terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan pada prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya konflik-konflik bersenjata. [1]




Dalam kepustakaan hukum internasional, istilah hukum humaniter merupakan istilah yang dianggap relatif baru. Istilah ini baru lahir sekitar tahun 1970-an
Berikut adalah beberapa pengertian hukum humaniter menurut para Ahli :

1.    Mochtar Kusumahadmadja
Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melaksanakan perang itu sendiri. Batasan Hukum Humaniter Internasional adalah hukum yang mengatur ketentuan yang memberi perlindungan terhadap korban perang, yang berbeda dengan hukum perang yang mengatur tentang perang tersebut.

2.    International Committee Of The Red Cross (ICRC)
Hukum Humaniter Internasional sebagai ketentuan hukum internasional yang terdapat dalam perjanjian internasional maupun kebiasaan, yang dimaksudkan untuk mengatasi segala masalah kemanusiaan yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata internasional atau non internasional. Ketentuan tersebut membatasi, atas dasar kemanusiaan, hak pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk menggunakan senjata dan metode perang, dalam melindungi orang maupun harta benda yang terkena pertikaian bersenjata.

3.    Geza Herczegh
International humanitarian law hanyalah terbatas pada Hukum Jenewa saja, karena konvensi inilah yang mempunyai sifat internasional dan humaniter.

4.    Jean pictet
International humanitarian law in the wide sense is contitusional legal provition, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.  Esbjorn Rosendbland
Hukum humaniter internasional mengadakan pembedaan antara : the law of armed conflict, yang berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya pertikaian, pendudukan wilayah lawan, hubungan pihak pertikaian dengan negara netral. Sedangkan law of warfare ini antara lain mencakup : metode dan sarana berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, kombatan dan orang sipil.

5.    Panitia Tetap Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-undangan
Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia yang bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.

6.    Palang Merah Indonesia (Brosur PMI)
Hukum perikemanusiaan internasional atau juga dikenal dengan hukum humaniter internasional merupakan bagian dari hukum internasional publik yang bertujuan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul karena pertikaian bersenjata baik internasional maupun non internasional.[2]


B.   Tujuan Hukum perang
ada beberapa tujuan hukum humaniter yaitu :
a.    Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu;
b.     Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh berhak diperlakukan sebagai tawanan perang dan harus dilakukan secara manusiawi;
c.     Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini yang penting adalah asas perikemanusiaan.
Jadi tujuan dari hukum humaniter internasional adalah untuk memberikan perlindungan kepada korban perang, menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan mencegah dilakukannya perang secara kejam. Hukum humaniter internasional lebih ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan, yaitu:
·         Membatasi kekuasaan pihak-pihak yang berpengalaman dalam menggunakan kekerasan militer dan tindakan yang tidak manusiawi
·         Melindungi kombatan atau non kombatan/penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu
·         Menjamin hak-hak asasi tertentu dari mereka yang berada ditangan musuh/pihak lawan, sesuai dengan resolusi PBB No. 2444 tahun 1968 tentang Respector Human Rights Arned Conflicts.
Grotius, yang juga diikuti oleh Prof. Mochtar Kusumaatmaja membagi:
·         Jus ad belum (hukum tentang perang), yaitu hukum yang mengatur dalam hal bagaimana suatu negara dibenarkan menggunakan kekeasan bersenjata.
·         Jus in bellow, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, terbagi lagi menjadi dua yaitu:
-          Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang, termasuk pembatasan-pembatasannya yang terdapat dalam konvensi Den Haag.
-          Hukum mengenai perlindungan bagi orang-orang yang menjadi korban perang , baik sipil maupun militer. Ini terdapat dalam konvensi-konvensi Janewa. [3]

C.   Asas dan  prinsip Hukum Humaniter
Hukum perang yang kini lazimnya disebut hukum humaniter dibuat untuk mengatur penggunaan perang atau kekuatan bersenjata sedemikian rupa, seandainya perang atau konflik bersenjata tidak mungkin lagi bisa dicegah atau dihindari. Upaya pengaturan itu dimaksudkan agar tidak mengakibatkan penderitaan yang berlebihan dan sebenarnya tidak perlu, baik masyarakat awam ataupun penduduk yang tidak berdosa (dalam arti penduduk sipil), maupun bagi korban perang dan anggota-anggota “combatant”(pelaku pertempuran) yang terluka. Oleh karena itu ada beberapa asas atau prinsip yang terkandungdalam Hukum Humaniter. Asas hukum atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan (Sudikno Mertokusumo, 2003: 34). HHI disusun dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
·         Asas kepentingan militer
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
·         Asas Perikemanusiaan
Menurut asas ini pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
·         Asas kesatriaan
Berdasarkan asas ini bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.

            Prinsip yang berlaku pada hukum humaniter internasional antara lain:
·         prinsip keperluan,/kepentingan militer (military necessity)
Yaitu untuk memberikan batasan, landasan atau pedoman bagi pihak angkatan bersenjata yang saling tempur mengenai hal-hal apa yang boleh dilakuakn  dan yang tidak boleh dilakukan, mengenai tindakan apa yang melanggar huku (dalam situasi perang), alat/sarana yang boleh digunakan dan yang tidak boleh digunakan.

·         prinsip kemanusiaan (humanitarian)
Yaitu untuk menerapkan perlakuan terhadap manusia sebagaimana kodratnya dan bukan diperlakukan bagaikan binatang(hewan), menyadari rasa kasih sayang sesama manusia(jangan membantai atau menelantarkan lawan yang luka, sakit, tidak berdaya, atau sudah menyerah), menghargai hak-hak hidup bagi manusia, dan tidak melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia.


·         Prinsip kesatriaan (chivalry)
Asas ini mengandungarti bahwa didalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat  yang ilegal atau bertentangan dengan hukum humaniter serta cara-cara peperangan yang bersifat khianat dilarang.perang diharapkan hanya dilakukan sebatas mengalahkan atau melumpuhkan kekuatan kekuatan lawan dan bukan untuk menghancurkan personel, keluarga, dan harta benda lawan.oleh karena itu seandainya saja tidak diterapkan asas kesatriandalam pembentukan ketentuan-ketentuan hukum humaniter, maka sudah pasti peperangan akan berlangsung dengan sangat brutal dan dan keji.

·         Asas non-diskriminasi (non-discrimination)
Yaitu untuk menghargai persamaan derajat tidak membeda-bedakan,baik para pihak dalam pertempuran maupun korban perang(termasuk lawan perang).[4]

D.   Jenis-jenis Konflik Bersenjata
Secara garis besar, hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu : 1). “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional” (international armed conflict); serta 2.)  “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict). Pembagian dua bentuk konflik ini adalah juga menurut Haryomataram.
Selain Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan, para pakar Hukum Humaniter telah mengajukan bentuk konflik bersenjata, antara lain :
a.    Starke, membagi konflik bersenjata menjadi dua, yaitu war proper between States, and armed conflict which are not of the character of war. Mengenai “armed conflict” yang menjadi pihak belum tentu negar, dapat juga bukan negara menjadi pihak dalam konflik tersebut. Ditambahkan pula bahwa “war proper” adalah “declared war”, yaitu perang yang didahului dengan suatu “declaration of war”
b.      Shigeki Miyazaki, pakar ini menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut : Konflik bersenjata antara pihak peserta konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 1 dan Protokol I, Pasal 1, Paragraf 3.
·         Konflik bersenjata antara pihak peserta (negara) dengan bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), misalnya penguasa yang memimpin kampanye pembebasan nasional yang telah menerima Konvensi Jenewa dan/atau Protokol. Konvensi Jenewa Pasal 2, Paragraf 4, Protokol Tambahan I, Pasal 1, Paragraf 4, Pasal 96, Paragraf 2.
·         Konflik bersenjata antar pihak peserta (negara) dan bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), yang belum menerima baik Konvensi Jenewa maupun Protokol. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Marthen Clause, Protokol II (penguasa : authority).
·         Konflik bersenjata antara dua bukan pihak peserta (non-contracting parties). Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Kovensi Jenewa Pasal 3 (penguasa), Marthen Clause, Protokol 2 (penguasa).
·         Konflik bersenjata yang serius yang tidak bersifat internasional (pemberontakan). Konvensi Jenewa, Pasal 3, Protokol 2, Hukum Internasional Publik.
·         Konflik bersenjata yang lain. Kovenan Internasional HAM, Hukum Publik (Hukum Pidana).


E.   Cara dan alat Perang
Mengenai cara perang , ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam bagian III protokol 1 1979 yang disebut  Protocols Additional to the ganeva Convenients of 12 August 1949. Bagian ini merupakan tambahan dan penyempurnaan dari apa yang terdapat dalam Hague Regulation 1907. Pasal 35nmenurut apa yang disempurnakan peraturan dasar. Didalam pasal tersebut dicantumkan tiga ketentuan:
·         Dalam setiap konflik bersenjata, hak dari pihak-pihak dalam konflik untuk memilih atau menentukan cara atau alat peperangan dibatasi.
·         Dilarang menggunakan senjata proyektif material dan metoda berperang yang menimbulkan luka-luka yang berlebihan dan penderitaan yag tidak perlu.
·         Dilarang menggunakan alat atau cara perang yang atau dapat diharapkan akan menyebabkan kerusakan luas(hebat)berjangka panjang terhadap lingkungan hidup. [5]
Dalam pasal 37 memuat larangan perbuatan yang bersifat khianat. Ditentukan bahwa, dilarang untuk membunuh, melukai, atau menangkap secara khianat. Pasal 38 melarang penggunaan secara tidak tepat atau tidak terbatas dari: palang merah, bintang sabit merah serta singa dan matahari merah, dan lain-lainnya yang ditentkan dalam konvensi atau protokol. Sedangkan pasal 36 mengatur mengenai alat perang. Cara-cara penyelesaian damai atau bersahabat dapat dilakukan dengan cara:
a)    Arbitrasi
Biasanya arbitrasi menunjukkan prosedur yang persis sama sebagaimana dalam hukum nasional yaitu menyerahkan sengketa kepada orang-orang tertentu yang dinamakan para arbitator, yang dipilih secara bebas oleh para pihak. Mereka itu lah yang memutuskan tanpa selalu terikat pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Namu, pengalaman yang diperlihatkan oleh praktek internasional menunjukkan bahwa beberapa sengketa yang hanya menyangkut masalah hukum yang diserahkan kepada arbitator untuk diselesaikan secara hukum. 
Arbitrasi pada dasarnya adalah suatu prosedur konsensus, negara-negara tidak dapat dipaksakan untuk dibawa kemuka arbitrasi kecuali jika mereka setuju untuk melakukan hal tersebut, baik secara umum dan sebelumnya. Kesepakatan negara-negara itupun mencakuppenentuan karakter dari pengadilan yang akan dibentuk.  Pengadilan-pengadilan arbitrasi  terutama menangani sengketa-sengketa yang menyangkut  baik masalah hukum maupun sengketa yang mengenai fakta  dan yang memerlukan beberapa pemahaman yang mendalam mengenai isi kontraversi.  Prosedur arbitrasi lebih memuaskan dibandingkan dengan penyelesaian yudisial atas sengketa-sengketa teknis, juga lebih murah , sedangkam=n apabila dianggap perlu arbitrasi dapat dilakukan tana ada publisitas bahkan sampai tingkat tertentu para pihak boleh menyepakati putusan-putusan tidak akan dipublikasikan. Prinsip-prinsip umum yang mengatur praktek dan wewenang pengadilan-pengadilan arbitrasi cukup dikenal, yang terakhir prosedur arbitrasi cukup luwes untuk dikombinasikan dengan proses-proses pencarian fakta yang diselesaikan dalam kasua negosiasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi, dan penyidikan.
b)    Penyelesaian yudisial
Penyelesaian yudisial berarti suatu penyelesaian dihasilkan melalui suatu pengadilan yudisial Internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya, dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum.  Mahkama Internasional merupakan bagian integral dari PBB. Keputusan mahkama diambil dari suara mayoritas hakim –hakim yang hadir. Bila suara seimbang maka keputusan akan ditentukan oleh suara ketua atau wakil ketua. Seperti keputusan mahkama pada tanggal 9 September 1927 dalam perkara lotus antara Perancis dan Turki mengenai tabrakan kapal dilaut lepas dimana keputusan hanya dapat diambil dengan pemberian suara ketua Mahkama.[6]
c)    Negosiasi jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi
Adalah metode-metode penyelesaian yang kurang begitu formal dibanding penyelesaian yudisial atau arbitrasi.sedikit yang perlu dikemukakan mengenai negosiasi selain bahwa metode ini sering diadakan dalam hubungan dengan jasa-jasa baik atau mediasi, dewasa ini pengaturan, dengan instrumen atau persetujuan internasional, kerangka kerja hukum untuk  dua proses yaitu konsultasi. Baik kosultasi sebelum atau setelah terjadinya peristiwa, dan komunikasi. Tanpa kedua media ini dalam beberapa hal negosiasi tidak dapat berjalan. Contoh dari konsultasi adalah ketentuan-ketentuan untuk melakukan konsultasi dalam Australia-New Zealand Free Trade Agreement 31 Desember 1965.  Dan untuk komunikasi dalam United States –Soviet Memorandum of Understanding, Janewa 20 Juni 1961.


d)    Penyelidikan
Tujuan dari suatu penyelidikan tanpa membuat rekomendasi yang spesifik adalah untuk menetapkan fakta yang mungkin diselesaiakn dan dengan cara demikian  memperlancar suatu penyelesaian yang dirundingkan.
e)    Penyelesaian dibawah naungan organisasi PBB
Organisasi PBB yang dibentuk tahun 1945 telah mengambil alih sebagian tanggung jawab untuk menyelesaiakn sengketa internasional dalam kaitan ini tanggung jawab penting beralih ke tangan Majelia Umum dan Dewan Keamanan. Majelis umum diberikan wewenang, tunduk pada wewenang penyelenggaraan perdamaian dari dewan keamanan untuk merekomendasiakan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan damai atas suatu keadaan yang memungkinkan mengganggu kesejahteraan umum atau hubungan-hubungan bersahabat antara bangsa-bangsa. 
Apabila negara-negara tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa mereka secara persahabatan maka cara oemecahan yang mungkin adalah dengan melalui cara-cara kekerasan. Diantaranya adalah:
a.    Perang dan tindakan bersenjata non-perang
Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian dimana negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternatif lainnya selain mematuhinya. Tindakan bersenjata, yang tidak dapat disebut perang, juga banyak diupayakan dalam tahun-tahun terakhir ini.
b.    Retorsi (retorsion)
Retorsi adalah istilah teknis ntuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain, balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat didalam konferensi negara yang kehormatannya dihina misalnya, merenggangnya hubungan-hubungan diplomatik, pencabutan privilege-privilege diplomatik, atau penarikan diri dari konsensi-konsensi fiskal dan bea.

c.    Tindakan-tindakan pembalasan (repraisals)
Pembalasan adalah metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalsan. Saat ini pada umumnya ditetapkan oleh praktek internasional bahwa suatu pembalasan hanya dibenarkan, apabla negara yang menjadi lawan yang dituju oleh pembalasan ini bersalah melakukan tindakan yang sifatnya merupakan suatu pelanggaran internasional. Lebih lanjut, suatu pembalasan tidak dibenarkan apabila negara pelanggar itu tanpa diminta diberikan ganti rugi akibat kesalahannya, atau apabila tindakan pembalasan itu melebihi porsinya dalam kaitan dengan kerugian yang diderita. Telah ada beberapa contoh nyata tindakan pembalsan oleh negara-negara, misalnya pengusiran orang Hungariah dari Yugoslavia pada tahun 1935, yang merupakan balas dendam terhadap tanggung jawab Hungariah untuk pembunuhan Raja Alexander dari Yugoslavia di Marsaillss dan peristiwa pemboman terhadap pelabuhan almeria, spanyol, oleh kapal-kapal jepang jerman pada tahun 1937 sebagai pembalasan terhadap bombardement atas kapal perang Deuthschland oleh pesawat-pesawat udara spanyol yang dimiliki oleh angkatan negara republik spanyol.
d.    Blokade secara damai (pacifick blockade)
Pada waktu perang blokade terhadap pelabuhan suatu negara yang melibatkan perang sangat lazim dilakukan angkatan laut. Namun, blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai suatu pembalasan, tindakan itu pada umumnya di tujukan untuk memaksa negara yang melabuhkannya di blokade untuk menaati permintaan ganti rugi kerugian yang diderita oleh  negara yang di blokade. Ada beberapa manfaat nyata dalam penggunaan blokade secara damai. Dilain pihak, blokade lebih dari sekedar pembalasan biasa, serta terhadap negara-negara lemah yang biasanta tunduk pada blokade, mungkin dianggap sebagai tindakan perang. Barang kali merupakan suatu penapat yang benar mengenai pendapat yang benar mengenai lembaga blokade secara damai yaitu bahwa negara melakukan tindakan itu untuk menghindari beban perang dan kesulitan-kesulitan tindakan perang.


F.    Akibat-akibat pecahnya perang atau Konflik

akibat-akibat pecahnya perang atau konflik yang terjadi diantaranya adalah:
1.    Pecahnya perang telah membawa pengaruh luas terhadap hubungan antara negara-negara yang terlibat perang. Kalau dalam peristiwa non perang negara-negara yang bertikai tidak akan dengan sendirinya terikat untuk memberlakukan ketentuan yang sama luasnya seperti yang mereka terapkan dalam perang.
2.    Karakter musuh dalam perang
Tentara musuh dan warga negara musuh yang bertempat tinggal di negara musuh selalu diperlakukan sebagai pihak musuh.
3.    Hubungan Diplomatik dalam perang
Pada saat pecahnya hubungan diplomatik antara pihak yang berperang putus.
4.    Akibat-akibat perang dan konflik bersenjata non-perang terhadap traktat.
Hukum internasional menghadapi ini secara secara pragmatis, dengan menjalankan atau membatalkan jika dituntut oleh perang.

G.   Cara-cara mengakhiri perang dan permusuhan-permusuhan
Praktek negara pada abad sekarang ini memperlihatkan perlunya suatu pembedaan antara:

1.    Cara-cara penghentian keadaan perang
·         Penghentian sama sekali permusuhan-permusuhan oleh pihak-pihak berperang tanpa tercapai suatu saling pengertian diantara mereka. Gambaran dari hal ini adalah perang antara Swedia dan Polandia (1716), antara Perancis dan Mecsico (1867) dan antara Spanyol dan Chili (1867). Kerugian dari metode ini adalah bahwa hubungan antara pihak-pihak berperang dimasa selanjutnya diragukan akan kembali kesedia kala dan metode ini tidak tepat untuk tradisi-tradisi modern dimana persoalan-persoalan rumit yang menyangkut harta benda, perlengkapan, tawanan-tawanan perang dan perbatasan-perbatasan biasanya harus diselesaikan melalui trakat.
·         Penaklukan yang diikuti dengan aneksasi. Prinsip yang mengtur disini adalah bahwa suatu negara yang ditaklukkan dan dianeksasi terhapus keberadaannya menurut hukum internasional, oleh karena itu tidak mungkin ada suatu keadaan perang ntara negara yang ditaklukkan dan negara penakluknya. Kurang begitu jelas sejauh mana prinsip ini sekarang berlaku apabila negara yang dianeksasi itu ditaklukkan dalam suatu perang agresi yang kotor, yang tidak sah menurut hukum internasional. Misalnya, dalam kasus Ethophia dan Czekoslovakia, yang dianeksasi tahun 1936 dan 1939 oleh italia dan jerman, pihak sekutu menolak untuk mengakui perobahan-perobahan wilayah yang berlangsung secara tidak sah itu, tetapi dalam kedua kasus itu kemerdekaan negara-negara terkait telah dipulihkan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
·         Melalui traktat perdamaian. Hal ini merupakan hal yang paling lazim. Suatu traktat perdamaian pada umumnya secara rinci menguraikan semua persoalan penting mengenai hubungan-hubungan pihak-pihal yang berperang misalnya pengosongan wilayah, pemulangan para tawanan perang kenegara asalnya, ganti rugi dan lain-lainnya.
·         Melalui suatu perjanjian-perjanjian untuk mengakhiri perang dan memulihkan perdamaian yang berbeda dari suatu traktat perdamaian dalam pengertian yang sempit. Metode ini telah dipakai apabila satu pihak atau lebih uang terlibat dalam perang merupakan suatu kesatuan non-negara. Contohnya adalah perjanjian empat pihak pada tanggal 27 Januari 1973, untuk mengakhiri perang perang dan memulihkan perdamaian di Vietnam, salah satu pihak itu adalah Pemerintah Revolusioner Selatan (Vietcong).
·         Melalui perjanjian gencatan senjata, dimana perjanjian itu meskipun terutama dimaksudkan untuk mengadakan suatu penghentian permusuhan, selanjutnya berlaku sebagai akibat penerapan praktisnya oleh para pihak de facto untuk menghentikan keadaan perang. Diyakini bahwa hal ini sebagian besar merupakan suatu masalah penafsiran perjanjian gencatan senjata tertentu yang terkait.
·         Melalui deklarasi sepihak  dari suatu negara atau lebih yang memenangkan perang, yang menghentikan suatu keadaa perang . prosedur yang agaknya menyimpang ini telah dipakai oleh beberapa negara sekutu (termasuk Inggris dan Amerika Serikat) pada tahun 1947 dan 1951 masing-masing terhadap Australia dan Republik Jerman Barat, terutama karena perselisihan yang tidak dapat didamaikan dengan Uni Soviet tentang prosedur dan prinsip berkenaan dengan pembentukan traktat-traktat perdamaian.

2.    Cara-cara penghentian permusuhan
Berikut ini adalah cara-cara penghentian permusuhan-permusuhan, yang berbeda dari keadaan perang itu sendiri, yang berlaku terhadap permusuhan-permusuhan baik dalam suatu perang maupun dalam konflik non-perang.
·         Melalui perjanjian gencatan senjata, pada umumnya dikatakan suatu gencatan senjata hanyalah suatu penundaan untuk sementara permusuhan-permusuhan dan lazimnya menunjukkan bahwa permusuhan-permusuhan akan mulai kembali pada saat berakhirnya jangka waktu gencatan senjata. Gencatan senjata disatu pihak dapat bersifat umum apabila semua operasi bersenjata ditangguhkan; atau dipihak lain bersifat parsial atau lokal, yang dibatasi hanya kepada angkatan bersenjata yang terlibat, atau hanya pada suatu kawasan khusus dari zonz-zona operasional. Salah satu dari kecenderungan modern berkenaan dengan gencatan senjata umum adalah bahwa perjanjian-perjanjian itu semat-mata tidak bersifat tetap, melainkan dengan penghentian de facto yang ditegaskan oleh traktat-traktat perdamaian final. Contoh konfliknya yaitu konflik Korea 1950-1953, gencatan senjata mengkhiri konflik dan merupakan suatu penyelesaian pertikaian akhir secara damai yang dimaksudkan oleh pihak-pihak yang bertikai.
·         Penyerahan tanpa syarat atau bentuk-bentuk penyerahan umum lainnya yag tidak disertai dengan suatu perjanjian atau traktat, yang memuat syarat-syarat perdamaian. Rumusan penyerahan tanpa syarat telah  dipakai oleh sekutu perang dunia ke dua, antara lain karena alasan-alasan bahwa tidak mungkin untuk berunding dengan pemerintahan-pemerintahan poros (axis Goverments) bahwa dipandang perlu untuk menghalangi kemungkinan penghianatan pihak angkatan bersenjata musuh melalui pemerintahan sipil dan untuk memungkinkan suatu proses pendidikan kembali serta demokratisasi penduduk musuh yang dilakukan selama berlangsung pengawasan militer, sementara keadaan resi perang masih berlangsung.
·         Memalui Truce, istilah itu telah digunakan dalam praktek PBB, misalnya Truce yang ditetapkan di Palestina pada bulan Mei-Juni 1948 sebagai hasil tindakan dewan keamanan. Hal ini memperlihatkan suatu penghentian permusuhan yang kurang difinitif dibanding gencatan senjata (armistice).
·         Penghentian tembak-menembak (cease of fire). Misalnya penghentian temba men embak yang diperintahkan oleh dewan keamanan pada bulan Desember 1948 dalam peristiwa berulangnya permusuhan-permusuhan di Indonesia antara Netherlanda dan angkatan bersenjata Republik Indonesia. Akibat luas dari penghentian tembak menembak adalah untuk melarang secara mutlak. Penghentian tembak menembak tunduk kepada oerintah Dewan Keamanan PBB tidak perlu berlaku segera; misalnya persyaratan-persyaratan yang sifatnya perintah untuk melaksanakan suatu penghentian tembak menembak dalam perang Irak-Iran meskipun telah dibuat melalui rekomendasi 598 yang dikeluarkan pada bulan Juli 1987 tidak memperoleh penerimaan dari negara-negara yang berperang sampai Agustus 1988.
·         Perjanjian penghentian atau penangguhan permusuhan-permusuhan. Misalnya tiga perjanjian Janewa tanggal 20 Juli 1958, tentang penghentian permusuhan-permusuhan masing-masing di vietnam, Laos dan Kamboja yang telah mengakhiri pertikaian di Indo-China antara pemerintah dan angkatan bersenjata Vietnam. Perjanjian secara khusus itu menyatakan “perjanjian ini bukan merupakan perjanjian perdamaian,. Ini merupakan suatu langkah menuju perdamaian yang abadi atas dasar Resolusi Dewan Keamanan 338 tanggal 22 Oktober 1977.
·         Melalui deklarasi bersama tentang pemulihan kepada keadaan normal, damai dan hubungan-hubungan bersahabat antara pihak-pihak yang bertikai, misalnya Deklarasi Tashkent, 10 januari 1966, mengenai konflik India-Pakistan ( ini termasuk syrat-syarat untuk menarik tentara dan mengenai para tawanan).
·         Penghentian de facto perjanjian, seperti dalam kasus peghetian permusuhan-permusuhan di Angols 8-9 Agustus 1988.
Salah satu segi dari perang dunia kedua yang tidak menguntungkan dan perpanjangan dari periode antara penghentian permusuhan-permusuhan dan pembentukan suatu traktat perdamaian. Hal ini akan membiarkan negara-negara yang ditaklukkan tunduk kepada suatu rezim yang tidak pasti, yang berada antara perang dan damai, suatu situasi yang dapat kembali lagi untuk mana beberapa jalan keluar harus ditemukan oleh hukum internasional.  [7]



H.   Hubungan Hukum Humaniter dengan HAM
Tidak selamanya saat perang atau konflik terjadi akan memikirkan tentang HAM, namun antara Hukum Humaniter dengan HAM tentu memiliki kaitan dan saling berhubungan. Dalam konvensi-konvensi tentang hak asasi manusia terdapat pula berbagai ketentuan yang penerapannya pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun 1950, misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin dalam konvensi ini tidak boleh dilanggar. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) hak yang harus tetap dihormati, karena merupakan intisari dari Konvensi ini, yaitu: hak atas kehidupan, hak kebebasan, integritas fisik, status sebagai subyek hukum, kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan. Ketentuan ini terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan Pasal 27 Konvensi HAM Amerika.
Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable rights), baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang tak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku surutnya hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan (slavery), perhambaan (servitude), larangan penyimpangan berkaitan dengan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang dimumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (d) yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa.
Konferensi internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Dalam Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”, meminta agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter Internasional.
Terdapat 3 aliran yang berkaitan dengan hubungan hukum humaniter internasional;
1.      Aliran integritas
Aliran integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari hukum yang lain. Dalam hal ini, maka ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu:
·         Hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional, dalam arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia. Pendapat ini antara lain dianut oleh Robertson, yang menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap waktu dan berlaku di segala tempat. Jadi hak asasi manusia merupakan genus dan hukum humaniter merupakan species-nya, karena hanya berlaku untuk golongan tertentu dan dalam keadaan tertentu pula.
·         Hukum Humaniter Internasional merupakan dasar dari Hak Asasi Manusia, dalam arti bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter lahir lebih dahulu daripada hak-hak asasi manusia. Jadi secara kronologis, hak asasi manusia dikembangkan setelah hukum humaniter internasional.
2.      Aliran Separatis
Aliran separatis melihat Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan, karena keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada  obyek, sifat, dan saat berlakunya.
3.      Aliran komplementaris
Aliran Komplementaris melihat Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi.
Dengan demikian, walaupun hukum humaniter berlaku pada waktu sengketa bersenjata dan hak asasi manusia berlaku pada waktu damai. Namun inti dari hak-hak asasi atau “hard core rights” tetap berlaku sekalipun pada waktu sengketa bersenjata. Keduanya saling melengkapi. Selain itu, ada keterpaduan dan keserasian kaidah-kaidah yang berasal dari instrumeninstrumen hak asasi manusia dengan kaidah-kaidah yang berasal dari instrumeninstrumen hukum humaniter internasional. Keduanya tidak hanya mengatur hubungan diantara negara dengan negara dengan menetapkan hak-hak dan kewajiban mereka secara timbal balik.[8]


















BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Hukum Humaniter Internasional membedakan dua jenis pertikaian bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum humaniter adalah Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri. Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan.

Saran
Dengan adanya proposal ini diharapkan kepada mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Hukum Humaniter Internasional lebih khusus lagi mengenai jenis-jenis konflik bersenjata.
Kita sebagai manusia tentu masih banyak kekurangan oleh karena itu marilah kita bersama saling mengisi kekurangan itu dengan berbagi pengetahuan. Penulis menyadari bahwa kemampuan yang dimiliki masih sangat kurang dan sangat terbatas untuk meningkatkan kemampuan penulis maka sangat diharapkan sumbangan-sumbangan pemikiran dari mahasiswa lainnya / pembaca. Karena penulis memahami sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam tahap pembelajaran.



Daftar Pustaka


G Strike, Pengantar Hukum Internasional edisi ke 2, Sinar Grafika
Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H, LLM, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Alumni, Bandun-2002

Drs. T. May Rudy, S.H., MIR., M.Sc, Hukum Internasional 2, P.T Reifika Aditama-2009
Arlina Permatasari, Pengantar hukum Humaniter, ICRC, Jakarta-1999
Dr. Boer Mauna, hukum internasional edisi ke-2, P.T Alumni, Bandung-2001
Zulkarnain, S.H, M.H & Insarullah, S.H, Buku Ajar Hukum Humaniter dan HAM, Fakultas Hukum Untad, Palu, 2002






[1] J. G Strike, Pengantar Hukum Internasional edisi ke 2, Sinar Grafika, hlm 78-79
[2] Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H, LLM, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Alumni, Bandun-2002, hlm 12-14
[3] Drs. T. May Rudy, S.H., MIR., M.Sc, Hukum Internasional 2, P.T Reifika Aditama-2009, hlm 80
[4] Arlina Permatasari, Pengantar hukum Humaniter, ICRC, Jakarta-1999, hlm 11
[5] J. G Strike, Pengantar Hukum Internasional edisi ke 2, Sinar Grafika, hlm 89
[6] Dr. Boer Mauna, hukum internasional edisi ke-2, P.T Alumni, Bandung-2001, hlm 254
[7] Drs. T. May Rudy, S.H., MIR., M.Sc, Hukum Internasional 2, P.T Reifika Aditama-2009,hlm749-753
[8] Zulkarnain, S.H, M.H & Insarullah, S.H, Buku Ajar Hukum Humaniter dan HAM, Fakultas Hukum Untad, Palu, 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar