KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh. Alhamulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah
berikan tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk
Allah Tuhan semesta alam. Berkat rahmat, taufik serta hidayah-nya yang tiada
terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“judul makalah”.
Dalam
penyusunannya, penulis dapat memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak,
karena itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua
orang tua tercinta (Alm. Bapak Suripto dan ibu Juminah) yang telah memberikan
dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua
kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan
dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun
penulis berharap isi makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu
ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritikan dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap
agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Pekanbaru,
Februari 2014
Penulis
Daftar isi
Daftar
isi.............................................................................................................. i
Kata
pengantar................................................................................................. ii...........
Bab I Pendahuluan
A. Latar
Belakang Masalah.................................................................... iii
B. Identifikasi
Masalah............................................................................ iv
C. Tujuan
penulisan................................................................................ iv
D. Sistematika
penulisan......................................................................... v
Bab
II Pembahasan
A. Defenisi
Hukum Humaniter............................................................... 1
B. Tujuan
Hukum Humaniter................................................................. 3
C. Asas
dan Prinsip Hukum Humaniter............................................... 4
D. Jenis-jenis
Konflik............................................................................... 6
E. Cara
dan Alat Perang......................................................................... 7
F. Akibat-akibat
pecahnya perang atau konflik................................ 12
G. Cara-cara
mengakhiri perang dan permusuhan......................... 12
H. Hubungan
Hukum Humaniter dengan HAM............................... 17
Bab
III Penutup
A. Kesimpulan........................................................................................ 20
B. Saran................................................................................................... 20
C. Daftar
Pustaka................................................................................... 21
Bab I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Hukum
Humaniter Internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa.
Untuk menghindari penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad
ke-19 negara-negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan
internasional dalam suatu konvensi yang mereka setujui sendiri (Lembar Fakta
HAM, 1998: 172). Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya
merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan
perluasan hukum humaniter melalui negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan
kesabaran.
Perkembangan
Hukum Humaniter Internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban
perang dan hukum perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan
Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen internasional
yang penting dalam bidang Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan
Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan
sumbangan untuk memperkuat pandfangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak
Asasi Manusia, baik dalam pada masa perang maupun damai.
Hukum
perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau
hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban
manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja
mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400
tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian.
Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara
berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga
kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan
ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa bangsa. Selanjutnya
Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila
perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri
sendiri dimulai dengan tulisantulisan mengenai hukum perang.
Dalam
sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan
keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum
humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju
untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalamanpengalaman
pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan
antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan
berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia telah
memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa
ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang
benar-benar universal.
Pada
umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan
agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa
bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau
peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang
adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil,
anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.
B.
Identifikasi Masalah
Dalam
penulisan makalah ini, permasalahan-permasalahan yang akan dibahas adalah
sebagai berikut :
1.
Mengetahui defenisi perang dan hukum humaniter
2. Akibat-akibat pecahnya perang atau konflik
3. Cara-cara
mengakhiri perang
C.
Tujuan Penulisan
Adapun
maksud dan tujuan penulis dalam menyusun
proposal ini tiada lain adalah sebagai tugas mata kuliah Hukum Internasional
Khusus yang di berikan oleh Dosen pembimbing sebagai bahan diskusi dalam proses
pembelajaran bersama pada semester Empat Universitas Islam Riau
D. Sistematika
Penulisan
Sistematika
Penulisan di bagi menjadi beberapa bagian
BAB I Pendahuluan
Pendahuluan berisikan : Latar
belakang. Identifikasi masalah, tujuan penulisan, sistematika penulisan
BAB
II Pembahasan
Pembahasan
dalam bab ini berisikan isi/penyelesaian dari identifikasi masalah
BAB III Penutup
Penutup
dalam bab ini berikan Kesimpulan, Saran dan Daftar pustaka
BAB II
Pembahasan
A.
Defenisi
Hukum Humaniter
Perang dalam pengertian umum yang telah
diterima yaitu suatu pertandingan antara dua negara atau lebih terutama dengan
angkatan bersenjata mereka, tujuan terakhir dari setiap kontestan atau
masing-masing kelompok kontestan adalah untuk mengalahkan kontestan-kontestan
lain dan membebankan syarat-syarat perdamaiannya.
Menurut Karl Von Clausewitz perang adalah
perjuangan dalam skala besar yang
dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukkan lawannyayaguna memenuhi
kehendak.
Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum humaniter
adalah sebagai dari hukum perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan
korban perang; seperti mengenai senjata-senjata yang dilarang. Konvensi Janewa
identik atau sinonim dengan hukum atau konvensi-konvensi humaniter sedangkan hukum
perang atau konvensi-konvensi Den Haag mengatur tentang cara melakukan
peperangan.
Hukum perang terdiri dari sekumpulan
pembatasan oleh hukum internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan untuk
mengalahkan musuh boleh digunakan pada prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan
terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya konflik-konflik bersenjata.
[1]
Dalam
kepustakaan hukum internasional, istilah hukum humaniter merupakan istilah yang
dianggap relatif baru. Istilah ini baru lahir sekitar tahun 1970-an
Berikut
adalah beberapa pengertian hukum humaniter menurut para Ahli :
1.
Mochtar
Kusumahadmadja
Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan
perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum yang mengatur perang itu
sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melaksanakan perang itu
sendiri. Batasan Hukum Humaniter Internasional adalah hukum yang mengatur
ketentuan yang memberi perlindungan terhadap korban perang, yang berbeda dengan
hukum perang yang mengatur tentang perang tersebut.
2.
International
Committee Of The Red Cross (ICRC)
Hukum Humaniter Internasional sebagai ketentuan hukum
internasional yang terdapat dalam perjanjian internasional maupun kebiasaan,
yang dimaksudkan untuk mengatasi segala masalah kemanusiaan yang timbul pada
waktu pertikaian bersenjata internasional atau non internasional. Ketentuan
tersebut membatasi, atas dasar kemanusiaan, hak pihak-pihak yang terlibat dalam
pertikaian untuk menggunakan senjata dan metode perang, dalam melindungi orang
maupun harta benda yang terkena pertikaian bersenjata.
3.
Geza
Herczegh
International humanitarian law hanyalah terbatas pada Hukum
Jenewa saja, karena konvensi inilah yang mempunyai sifat internasional dan
humaniter.
4.
Jean
pictet
International humanitarian law in the wide sense is
contitusional legal provition, whether written and customary, ensuring respect
for individual and his well being. Esbjorn Rosendbland
Hukum humaniter internasional mengadakan pembedaan antara :
the law of armed conflict, yang berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya
pertikaian, pendudukan wilayah lawan, hubungan pihak pertikaian dengan negara
netral. Sedangkan law of warfare ini antara lain mencakup : metode dan sarana
berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, kombatan dan orang sipil.
5.
Panitia
Tetap Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-undangan
Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan
ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum
perang dan hak asasi manusia yang bertujuan untuk menjamin penghormatan
terhadap harkat dan martabat seseorang.
6.
Palang
Merah Indonesia (Brosur PMI)
Hukum perikemanusiaan internasional atau juga dikenal dengan
hukum humaniter internasional merupakan bagian dari hukum internasional publik
yang bertujuan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul karena
pertikaian bersenjata baik internasional maupun non internasional.[2]
B.
Tujuan
Hukum perang
ada beberapa tujuan hukum humaniter
yaitu :
a. Memberikan perlindungan terhadap
kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu;
b. Menjamin hak asasi manusia yang sangat
fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke
tangan musuh berhak diperlakukan sebagai tawanan perang dan harus dilakukan
secara manusiawi;
c. Mencegah dilakukannya perang secara kejam
tanpa mengenal batas. Di sini yang penting adalah asas perikemanusiaan.
Jadi tujuan dari hukum humaniter
internasional adalah untuk memberikan perlindungan kepada korban perang,
menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan mencegah dilakukannya perang secara kejam.
Hukum humaniter internasional lebih ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan, yaitu:
·
Membatasi kekuasaan pihak-pihak yang
berpengalaman dalam menggunakan kekerasan militer dan tindakan yang tidak
manusiawi
·
Melindungi kombatan atau non
kombatan/penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu
·
Menjamin hak-hak asasi tertentu dari mereka
yang berada ditangan musuh/pihak lawan, sesuai dengan resolusi PBB No. 2444
tahun 1968 tentang Respector Human Rights Arned Conflicts.
Grotius,
yang juga diikuti oleh Prof. Mochtar Kusumaatmaja membagi:
·
Jus ad belum (hukum tentang perang), yaitu
hukum yang mengatur dalam hal bagaimana suatu negara dibenarkan menggunakan
kekeasan bersenjata.
·
Jus in bellow, yaitu hukum yang berlaku dalam
perang, terbagi lagi menjadi dua yaitu:
-
Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang,
termasuk pembatasan-pembatasannya yang terdapat dalam konvensi Den Haag.
-
Hukum mengenai perlindungan bagi orang-orang
yang menjadi korban perang , baik sipil maupun militer. Ini terdapat dalam
konvensi-konvensi Janewa. [3]
C.
Asas
dan prinsip Hukum Humaniter
Hukum perang yang kini lazimnya disebut hukum
humaniter dibuat untuk mengatur penggunaan perang atau kekuatan bersenjata
sedemikian rupa, seandainya perang atau konflik bersenjata tidak mungkin lagi
bisa dicegah atau dihindari. Upaya pengaturan itu dimaksudkan agar tidak
mengakibatkan penderitaan yang berlebihan dan sebenarnya tidak perlu, baik
masyarakat awam ataupun penduduk yang tidak berdosa (dalam arti penduduk
sipil), maupun bagi korban perang dan anggota-anggota “combatant”(pelaku
pertempuran) yang terluka. Oleh karena itu ada beberapa asas atau prinsip yang
terkandungdalam Hukum Humaniter. Asas
hukum atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya yang
terjelma dalam peraturan perundang-undangan (Sudikno Mertokusumo, 2003: 34).
HHI disusun dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
·
Asas
kepentingan militer
Berdasarkan asas ini maka pihak yang
bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi
tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
·
Asas
Perikemanusiaan
Menurut asas ini pihak yang bersengketa
diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk
menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau
penderitaan yang tidak perlu.
·
Asas
kesatriaan
Berdasarkan
asas ini bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan
alat-alat yang tidak terhormat, berbagai tipu muslihat dan cara-cara yang
bersifat khianat dilarang.
Prinsip
yang berlaku pada hukum humaniter internasional antara lain:
·
prinsip keperluan,/kepentingan militer
(military necessity)
Yaitu untuk memberikan
batasan, landasan atau pedoman bagi pihak angkatan bersenjata yang saling
tempur mengenai hal-hal apa yang boleh dilakuakn dan yang tidak boleh dilakukan, mengenai
tindakan apa yang melanggar huku (dalam situasi perang), alat/sarana yang boleh
digunakan dan yang tidak boleh digunakan.
·
prinsip kemanusiaan (humanitarian)
Yaitu untuk menerapkan
perlakuan terhadap manusia sebagaimana kodratnya dan bukan diperlakukan
bagaikan binatang(hewan), menyadari rasa kasih sayang sesama manusia(jangan
membantai atau menelantarkan lawan yang luka, sakit, tidak berdaya, atau sudah
menyerah), menghargai hak-hak hidup bagi manusia, dan tidak melakukan
pelanggaran hak-hak asasi manusia.
·
Prinsip kesatriaan (chivalry)
Asas ini mengandungarti
bahwa didalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan
alat-alat yang ilegal atau bertentangan
dengan hukum humaniter serta cara-cara peperangan yang bersifat khianat
dilarang.perang diharapkan hanya dilakukan sebatas mengalahkan atau melumpuhkan
kekuatan kekuatan lawan dan bukan untuk menghancurkan personel, keluarga, dan
harta benda lawan.oleh karena itu seandainya saja tidak diterapkan asas
kesatriandalam pembentukan ketentuan-ketentuan hukum humaniter, maka sudah
pasti peperangan akan berlangsung dengan sangat brutal dan dan keji.
·
Asas non-diskriminasi (non-discrimination)
Yaitu untuk menghargai persamaan derajat
tidak membeda-bedakan,baik para pihak dalam pertempuran maupun korban
perang(termasuk lawan perang).[4]
D.
Jenis-jenis
Konflik Bersenjata
Secara
garis besar, hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam
Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi
jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu : 1). “sengketa atau
konflik bersenjata yang bersifat internasional” (international armed
conflict); serta 2.)
“sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international
armed conflict). Pembagian dua bentuk konflik ini adalah juga
menurut Haryomataram.
Selain Konvensi Jenewa dan Protokol
Tambahan, para pakar Hukum Humaniter telah mengajukan bentuk konflik
bersenjata, antara lain :
a. Starke, membagi konflik bersenjata
menjadi dua, yaitu war proper between States, and armed conflict which are
not of the character of war. Mengenai “armed conflict” yang menjadi
pihak belum tentu negar, dapat juga bukan negara menjadi pihak dalam konflik
tersebut. Ditambahkan pula bahwa “war proper” adalah “declared war”,
yaitu perang yang didahului dengan suatu “declaration of war”
b. Shigeki
Miyazaki, pakar ini menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut : Konflik
bersenjata antara pihak peserta konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan
1977. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 1 dan Protokol I, Pasal 1, Paragraf 3.
·
Konflik
bersenjata antara pihak peserta (negara) dengan bukan pihak peserta (negara
atau penguasa de facto), misalnya penguasa yang memimpin kampanye
pembebasan nasional yang telah menerima Konvensi Jenewa dan/atau Protokol.
Konvensi Jenewa Pasal 2, Paragraf 4, Protokol Tambahan I, Pasal 1, Paragraf 4,
Pasal 96, Paragraf 2.
·
Konflik
bersenjata antar pihak peserta (negara) dan bukan pihak peserta (negara atau
penguasa de facto), yang belum menerima baik Konvensi Jenewa maupun
Protokol. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Marthen Clause, Protokol
II (penguasa : authority).
·
Konflik
bersenjata antara dua bukan pihak peserta (non-contracting parties).
Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Kovensi Jenewa Pasal 3 (penguasa), Marthen
Clause, Protokol 2 (penguasa).
·
Konflik
bersenjata yang serius yang tidak bersifat internasional (pemberontakan).
Konvensi Jenewa, Pasal 3, Protokol 2, Hukum Internasional Publik.
·
Konflik
bersenjata yang lain. Kovenan Internasional HAM, Hukum Publik (Hukum Pidana).
E.
Cara
dan alat Perang
Mengenai
cara perang , ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam bagian III protokol 1
1979 yang disebut Protocols Additional
to the ganeva Convenients of 12 August 1949. Bagian ini merupakan tambahan dan
penyempurnaan dari apa yang terdapat dalam Hague Regulation 1907. Pasal 35nmenurut
apa yang disempurnakan peraturan dasar. Didalam pasal tersebut dicantumkan tiga
ketentuan:
·
Dalam setiap konflik bersenjata, hak dari
pihak-pihak dalam konflik untuk memilih atau menentukan cara atau alat
peperangan dibatasi.
·
Dilarang menggunakan senjata proyektif
material dan metoda berperang yang menimbulkan luka-luka yang berlebihan dan
penderitaan yag tidak perlu.
·
Dilarang menggunakan alat atau cara perang
yang atau dapat diharapkan akan menyebabkan kerusakan luas(hebat)berjangka
panjang terhadap lingkungan hidup. [5]
Dalam
pasal 37 memuat larangan perbuatan yang bersifat khianat. Ditentukan bahwa,
dilarang untuk membunuh, melukai, atau menangkap secara khianat. Pasal 38
melarang penggunaan secara tidak tepat atau tidak terbatas dari: palang merah,
bintang sabit merah serta singa dan matahari merah, dan lain-lainnya yang
ditentkan dalam konvensi atau protokol. Sedangkan pasal 36 mengatur mengenai
alat perang. Cara-cara penyelesaian damai atau bersahabat dapat dilakukan
dengan cara:
a) Arbitrasi
Biasanya
arbitrasi menunjukkan prosedur yang persis sama sebagaimana dalam hukum
nasional yaitu menyerahkan sengketa kepada orang-orang tertentu yang dinamakan
para arbitator, yang dipilih secara bebas oleh para pihak. Mereka itu lah yang
memutuskan tanpa selalu terikat pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Namu,
pengalaman yang diperlihatkan oleh praktek internasional menunjukkan bahwa
beberapa sengketa yang hanya menyangkut masalah hukum yang diserahkan kepada
arbitator untuk diselesaikan secara hukum.
Arbitrasi
pada dasarnya adalah suatu prosedur konsensus, negara-negara tidak dapat
dipaksakan untuk dibawa kemuka arbitrasi kecuali jika mereka setuju untuk
melakukan hal tersebut, baik secara umum dan sebelumnya. Kesepakatan
negara-negara itupun mencakuppenentuan karakter dari pengadilan yang akan
dibentuk. Pengadilan-pengadilan
arbitrasi terutama menangani
sengketa-sengketa yang menyangkut baik
masalah hukum maupun sengketa yang mengenai fakta dan yang memerlukan beberapa pemahaman yang
mendalam mengenai isi kontraversi.
Prosedur arbitrasi lebih memuaskan dibandingkan dengan penyelesaian
yudisial atas sengketa-sengketa teknis, juga lebih murah , sedangkam=n apabila
dianggap perlu arbitrasi dapat dilakukan tana ada publisitas bahkan sampai
tingkat tertentu para pihak boleh menyepakati putusan-putusan tidak akan
dipublikasikan. Prinsip-prinsip umum yang mengatur praktek dan wewenang
pengadilan-pengadilan arbitrasi cukup dikenal, yang terakhir prosedur arbitrasi
cukup luwes untuk dikombinasikan dengan proses-proses pencarian fakta yang
diselesaikan dalam kasua negosiasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi, dan
penyidikan.
b) Penyelesaian
yudisial
Penyelesaian
yudisial berarti suatu penyelesaian dihasilkan melalui suatu pengadilan
yudisial Internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya, dengan memberlakukan
kaidah-kaidah hukum. Mahkama
Internasional merupakan bagian integral dari PBB. Keputusan mahkama diambil
dari suara mayoritas hakim –hakim yang hadir. Bila suara seimbang maka
keputusan akan ditentukan oleh suara ketua atau wakil ketua. Seperti keputusan
mahkama pada tanggal 9 September 1927 dalam perkara lotus antara Perancis dan
Turki mengenai tabrakan kapal dilaut lepas dimana keputusan hanya dapat diambil
dengan pemberian suara ketua Mahkama.[6]
c) Negosiasi
jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi
Adalah
metode-metode penyelesaian yang kurang begitu formal dibanding penyelesaian
yudisial atau arbitrasi.sedikit yang perlu dikemukakan mengenai negosiasi
selain bahwa metode ini sering diadakan dalam hubungan dengan jasa-jasa baik
atau mediasi, dewasa ini pengaturan, dengan instrumen atau persetujuan
internasional, kerangka kerja hukum untuk
dua proses yaitu konsultasi. Baik kosultasi sebelum atau setelah
terjadinya peristiwa, dan komunikasi. Tanpa kedua media ini dalam beberapa hal
negosiasi tidak dapat berjalan. Contoh dari konsultasi adalah
ketentuan-ketentuan untuk melakukan konsultasi dalam Australia-New Zealand Free
Trade Agreement 31 Desember 1965. Dan
untuk komunikasi dalam United States –Soviet Memorandum of Understanding,
Janewa 20 Juni 1961.
d) Penyelidikan
Tujuan
dari suatu penyelidikan tanpa membuat rekomendasi yang spesifik adalah untuk
menetapkan fakta yang mungkin diselesaiakn dan dengan cara demikian memperlancar suatu penyelesaian yang
dirundingkan.
e) Penyelesaian
dibawah naungan organisasi PBB
Organisasi PBB yang dibentuk tahun 1945 telah
mengambil alih sebagian tanggung jawab untuk menyelesaiakn sengketa
internasional dalam kaitan ini tanggung jawab penting beralih ke tangan Majelia
Umum dan Dewan Keamanan. Majelis umum diberikan wewenang, tunduk pada wewenang
penyelenggaraan perdamaian dari dewan keamanan untuk merekomendasiakan
tindakan-tindakan untuk menyelesaikan damai atas suatu keadaan yang
memungkinkan mengganggu kesejahteraan umum atau hubungan-hubungan bersahabat
antara bangsa-bangsa.
Apabila negara-negara tidak mencapai
kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa mereka secara persahabatan
maka cara oemecahan yang mungkin adalah dengan melalui cara-cara kekerasan.
Diantaranya adalah:
a. Perang
dan tindakan bersenjata non-perang
Keseluruhan tujuan dari
perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat
penyelesaian dimana negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternatif
lainnya selain mematuhinya. Tindakan bersenjata, yang tidak dapat disebut
perang, juga banyak diupayakan dalam tahun-tahun terakhir ini.
b. Retorsi
(retorsion)
Retorsi adalah istilah
teknis ntuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan
tidak pantas atau tidak patut dari negara lain, balas dendam tersebut dilakukan
dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat didalam konferensi
negara yang kehormatannya dihina misalnya, merenggangnya hubungan-hubungan
diplomatik, pencabutan privilege-privilege diplomatik, atau penarikan diri dari
konsensi-konsensi fiskal dan bea.
c. Tindakan-tindakan
pembalasan (repraisals)
Pembalasan adalah metode-metode yang dipakai
oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari
negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalsan.
Saat ini pada umumnya ditetapkan oleh praktek internasional bahwa suatu
pembalasan hanya dibenarkan, apabla negara yang menjadi lawan yang dituju oleh
pembalasan ini bersalah melakukan tindakan yang sifatnya merupakan suatu
pelanggaran internasional. Lebih lanjut, suatu pembalasan tidak dibenarkan
apabila negara pelanggar itu tanpa diminta diberikan ganti rugi akibat
kesalahannya, atau apabila tindakan pembalasan itu melebihi porsinya dalam
kaitan dengan kerugian yang diderita. Telah ada beberapa contoh nyata tindakan
pembalsan oleh negara-negara, misalnya pengusiran orang Hungariah dari
Yugoslavia pada tahun 1935, yang merupakan balas dendam terhadap tanggung jawab
Hungariah untuk pembunuhan Raja Alexander dari Yugoslavia di Marsaillss dan
peristiwa pemboman terhadap pelabuhan almeria, spanyol, oleh kapal-kapal jepang
jerman pada tahun 1937 sebagai pembalasan terhadap bombardement atas kapal
perang Deuthschland oleh pesawat-pesawat udara spanyol yang dimiliki oleh
angkatan negara republik spanyol.
d. Blokade
secara damai (pacifick blockade)
Pada waktu perang blokade terhadap pelabuhan
suatu negara yang melibatkan perang sangat lazim dilakukan angkatan laut.
Namun, blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu
damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai suatu pembalasan, tindakan itu pada
umumnya di tujukan untuk memaksa negara yang melabuhkannya di blokade untuk
menaati permintaan ganti rugi kerugian yang diderita oleh negara yang di blokade. Ada beberapa manfaat
nyata dalam penggunaan blokade secara damai. Dilain pihak, blokade lebih dari
sekedar pembalasan biasa, serta terhadap negara-negara lemah yang biasanta
tunduk pada blokade, mungkin dianggap sebagai tindakan perang. Barang kali
merupakan suatu penapat yang benar mengenai pendapat yang benar mengenai
lembaga blokade secara damai yaitu bahwa negara melakukan tindakan itu untuk
menghindari beban perang dan kesulitan-kesulitan tindakan perang.
F.
Akibat-akibat
pecahnya perang atau Konflik
akibat-akibat
pecahnya perang atau konflik yang terjadi diantaranya adalah:
1. Pecahnya
perang telah membawa pengaruh luas terhadap hubungan antara negara-negara yang
terlibat perang. Kalau dalam peristiwa non perang negara-negara yang bertikai
tidak akan dengan sendirinya terikat untuk memberlakukan ketentuan yang sama
luasnya seperti yang mereka terapkan dalam perang.
2. Karakter
musuh dalam perang
Tentara musuh dan warga
negara musuh yang bertempat tinggal di negara musuh selalu diperlakukan sebagai
pihak musuh.
3. Hubungan
Diplomatik dalam perang
Pada saat pecahnya hubungan
diplomatik antara pihak yang berperang putus.
4. Akibat-akibat
perang dan konflik bersenjata non-perang terhadap traktat.
Hukum internasional menghadapi ini
secara secara pragmatis, dengan menjalankan atau membatalkan jika dituntut oleh
perang.
G.
Cara-cara
mengakhiri perang dan permusuhan-permusuhan
Praktek
negara pada abad sekarang ini memperlihatkan perlunya suatu pembedaan antara:
1. Cara-cara
penghentian keadaan perang
·
Penghentian sama sekali permusuhan-permusuhan
oleh pihak-pihak berperang tanpa tercapai suatu saling pengertian diantara
mereka. Gambaran dari hal ini adalah perang antara Swedia dan Polandia (1716),
antara Perancis dan Mecsico (1867) dan antara Spanyol dan Chili (1867).
Kerugian dari metode ini adalah bahwa hubungan antara pihak-pihak berperang
dimasa selanjutnya diragukan akan kembali kesedia kala dan metode ini tidak
tepat untuk tradisi-tradisi modern dimana persoalan-persoalan rumit yang
menyangkut harta benda, perlengkapan, tawanan-tawanan perang dan
perbatasan-perbatasan biasanya harus diselesaikan melalui trakat.
·
Penaklukan yang diikuti dengan aneksasi.
Prinsip yang mengtur disini adalah bahwa suatu negara yang ditaklukkan dan
dianeksasi terhapus keberadaannya menurut hukum internasional, oleh karena itu
tidak mungkin ada suatu keadaan perang ntara negara yang ditaklukkan dan negara
penakluknya. Kurang begitu jelas sejauh mana prinsip ini sekarang berlaku
apabila negara yang dianeksasi itu ditaklukkan dalam suatu perang agresi yang
kotor, yang tidak sah menurut hukum internasional. Misalnya, dalam kasus
Ethophia dan Czekoslovakia, yang dianeksasi tahun 1936 dan 1939 oleh italia dan
jerman, pihak sekutu menolak untuk mengakui perobahan-perobahan wilayah yang
berlangsung secara tidak sah itu, tetapi dalam kedua kasus itu kemerdekaan
negara-negara terkait telah dipulihkan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
·
Melalui traktat perdamaian. Hal ini merupakan
hal yang paling lazim. Suatu traktat perdamaian pada umumnya secara rinci
menguraikan semua persoalan penting mengenai hubungan-hubungan pihak-pihal yang
berperang misalnya pengosongan wilayah, pemulangan para tawanan perang kenegara
asalnya, ganti rugi dan lain-lainnya.
·
Melalui suatu perjanjian-perjanjian untuk
mengakhiri perang dan memulihkan perdamaian yang berbeda dari suatu traktat
perdamaian dalam pengertian yang sempit. Metode ini telah dipakai apabila satu
pihak atau lebih uang terlibat dalam perang merupakan suatu kesatuan
non-negara. Contohnya adalah perjanjian empat pihak pada tanggal 27 Januari
1973, untuk mengakhiri perang perang dan memulihkan perdamaian di Vietnam,
salah satu pihak itu adalah Pemerintah Revolusioner Selatan (Vietcong).
·
Melalui perjanjian gencatan senjata, dimana
perjanjian itu meskipun terutama dimaksudkan untuk mengadakan suatu penghentian
permusuhan, selanjutnya berlaku sebagai akibat penerapan praktisnya oleh para
pihak de facto untuk menghentikan keadaan perang. Diyakini bahwa hal ini
sebagian besar merupakan suatu masalah penafsiran perjanjian gencatan senjata
tertentu yang terkait.
·
Melalui deklarasi sepihak dari suatu negara atau lebih yang memenangkan
perang, yang menghentikan suatu keadaa perang . prosedur yang agaknya
menyimpang ini telah dipakai oleh beberapa negara sekutu (termasuk Inggris dan
Amerika Serikat) pada tahun 1947 dan 1951 masing-masing terhadap Australia dan
Republik Jerman Barat, terutama karena perselisihan yang tidak dapat didamaikan
dengan Uni Soviet tentang prosedur dan prinsip berkenaan dengan pembentukan
traktat-traktat perdamaian.
2. Cara-cara
penghentian permusuhan
Berikut ini adalah cara-cara
penghentian permusuhan-permusuhan, yang berbeda dari keadaan perang itu
sendiri, yang berlaku terhadap permusuhan-permusuhan baik dalam suatu perang
maupun dalam konflik non-perang.
·
Melalui perjanjian gencatan senjata, pada
umumnya dikatakan suatu gencatan senjata hanyalah suatu penundaan untuk
sementara permusuhan-permusuhan dan lazimnya menunjukkan bahwa
permusuhan-permusuhan akan mulai kembali pada saat berakhirnya jangka waktu
gencatan senjata. Gencatan senjata disatu pihak dapat bersifat umum apabila
semua operasi bersenjata ditangguhkan; atau dipihak lain bersifat parsial atau
lokal, yang dibatasi hanya kepada angkatan bersenjata yang terlibat, atau hanya
pada suatu kawasan khusus dari zonz-zona operasional. Salah satu dari kecenderungan
modern berkenaan dengan gencatan senjata umum adalah bahwa
perjanjian-perjanjian itu semat-mata tidak bersifat tetap, melainkan dengan
penghentian de facto yang ditegaskan oleh traktat-traktat perdamaian final.
Contoh konfliknya yaitu konflik Korea 1950-1953, gencatan senjata mengkhiri
konflik dan merupakan suatu penyelesaian pertikaian akhir secara damai yang
dimaksudkan oleh pihak-pihak yang bertikai.
·
Penyerahan tanpa syarat atau bentuk-bentuk
penyerahan umum lainnya yag tidak disertai dengan suatu perjanjian atau
traktat, yang memuat syarat-syarat perdamaian. Rumusan penyerahan tanpa syarat
telah dipakai oleh sekutu perang dunia
ke dua, antara lain karena alasan-alasan bahwa tidak mungkin untuk berunding dengan
pemerintahan-pemerintahan poros (axis Goverments) bahwa dipandang perlu untuk
menghalangi kemungkinan penghianatan pihak angkatan bersenjata musuh melalui
pemerintahan sipil dan untuk memungkinkan suatu proses pendidikan kembali serta
demokratisasi penduduk musuh yang dilakukan selama berlangsung pengawasan
militer, sementara keadaan resi perang masih berlangsung.
·
Memalui Truce,
istilah itu telah digunakan dalam praktek PBB, misalnya Truce yang
ditetapkan di Palestina pada bulan Mei-Juni 1948 sebagai hasil tindakan dewan
keamanan. Hal ini memperlihatkan suatu penghentian permusuhan yang kurang
difinitif dibanding gencatan senjata (armistice).
·
Penghentian tembak-menembak (cease of fire).
Misalnya penghentian temba men embak yang diperintahkan oleh dewan keamanan
pada bulan Desember 1948 dalam peristiwa berulangnya permusuhan-permusuhan di
Indonesia antara Netherlanda dan angkatan bersenjata Republik Indonesia. Akibat
luas dari penghentian tembak menembak adalah untuk melarang secara mutlak.
Penghentian tembak menembak tunduk kepada oerintah Dewan Keamanan PBB tidak
perlu berlaku segera; misalnya persyaratan-persyaratan yang sifatnya perintah
untuk melaksanakan suatu penghentian tembak menembak dalam perang Irak-Iran
meskipun telah dibuat melalui rekomendasi 598 yang dikeluarkan pada bulan Juli
1987 tidak memperoleh penerimaan dari negara-negara yang berperang sampai
Agustus 1988.
·
Perjanjian penghentian atau penangguhan
permusuhan-permusuhan. Misalnya tiga perjanjian Janewa tanggal 20 Juli 1958,
tentang penghentian permusuhan-permusuhan masing-masing di vietnam, Laos dan
Kamboja yang telah mengakhiri pertikaian di Indo-China antara pemerintah dan angkatan
bersenjata Vietnam. Perjanjian secara khusus itu menyatakan “perjanjian ini
bukan merupakan perjanjian perdamaian,. Ini merupakan suatu langkah menuju
perdamaian yang abadi atas dasar Resolusi Dewan Keamanan 338 tanggal 22 Oktober
1977.
·
Melalui deklarasi bersama tentang pemulihan
kepada keadaan normal, damai dan hubungan-hubungan bersahabat antara
pihak-pihak yang bertikai, misalnya Deklarasi Tashkent, 10 januari 1966,
mengenai konflik India-Pakistan ( ini termasuk syrat-syarat untuk menarik tentara
dan mengenai para tawanan).
·
Penghentian de facto perjanjian, seperti
dalam kasus peghetian permusuhan-permusuhan di Angols 8-9 Agustus 1988.
Salah
satu segi dari perang dunia kedua yang tidak menguntungkan dan perpanjangan
dari periode antara penghentian permusuhan-permusuhan dan pembentukan suatu
traktat perdamaian. Hal ini akan membiarkan negara-negara yang ditaklukkan
tunduk kepada suatu rezim yang tidak pasti, yang berada antara perang dan
damai, suatu situasi yang dapat kembali lagi untuk mana beberapa jalan keluar
harus ditemukan oleh hukum internasional.
[7]
H. Hubungan
Hukum Humaniter dengan HAM
Tidak
selamanya saat perang atau konflik terjadi akan memikirkan tentang HAM, namun
antara Hukum Humaniter dengan HAM tentu memiliki kaitan dan saling berhubungan.
Dalam konvensi-konvensi tentang hak asasi manusia terdapat pula berbagai
ketentuan yang penerapannya pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun 1950,
misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya umum
lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin dalam konvensi
ini tidak boleh dilanggar. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) hak yang harus tetap
dihormati, karena merupakan intisari dari Konvensi ini, yaitu: hak atas
kehidupan, hak kebebasan, integritas fisik, status sebagai subyek hukum,
kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan. Ketentuan ini
terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan
Pasal 27 Konvensi HAM Amerika.
Selain
itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable rights),
baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang
tak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non
diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku surutnya
hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak
untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan
perjanjian (kontrak), perbudakan (slavery), perhambaan (servitude),
larangan penyimpangan berkaitan dengan dengan penawanan, pengakuan seseorang
sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan
penjatuhan hukum tanpa putusan yang dimumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang
lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam
keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (d) yang bersamaan pada
keempat Konvensi Jenewa.
Konferensi
internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh PBB di
Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia
(HAM) dan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Dalam Resolusi XXIII tanggal 12
Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”, meminta
agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih
sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini
mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter Internasional.
Terdapat 3 aliran yang berkaitan
dengan hubungan hukum humaniter internasional;
1.
Aliran integritas
Aliran integrationis berpendapat
bahwa sistem hukum yang satu berasal dari hukum yang lain. Dalam hal ini, maka
ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu:
·
Hak
asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional, dalam arti
bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia. Pendapat ini
antara lain dianut oleh Robertson, yang menyatakan bahwa hak asasi
manusia merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap waktu dan berlaku di
segala tempat. Jadi hak asasi manusia merupakan genus dan hukum humaniter
merupakan species-nya, karena hanya berlaku untuk golongan tertentu dan dalam
keadaan tertentu pula.
·
Hukum
Humaniter Internasional merupakan dasar dari Hak Asasi Manusia, dalam arti
bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat ini
didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter lahir lebih dahulu daripada
hak-hak asasi manusia. Jadi secara kronologis, hak asasi manusia dikembangkan
setelah hukum humaniter internasional.
2. Aliran Separatis
Aliran separatis melihat Hak
Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional sebagai sistem hukum yang sama
sekali tidak berkaitan, karena keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem tersebut
terletak pada obyek, sifat, dan saat berlakunya.
3. Aliran komplementaris
Aliran Komplementaris melihat
Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional melalui proses yang
bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi.
Dengan demikian, walaupun hukum
humaniter berlaku pada waktu sengketa bersenjata dan hak asasi manusia berlaku
pada waktu damai. Namun inti dari hak-hak asasi atau “hard core rights”
tetap berlaku sekalipun pada waktu sengketa bersenjata. Keduanya saling
melengkapi. Selain itu, ada keterpaduan dan keserasian kaidah-kaidah yang
berasal dari instrumeninstrumen hak asasi manusia dengan kaidah-kaidah yang
berasal dari instrumeninstrumen hukum humaniter internasional. Keduanya tidak
hanya mengatur hubungan diantara negara dengan negara dengan menetapkan hak-hak
dan kewajiban mereka secara timbal balik.[8]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum Humaniter Internasional membedakan dua jenis pertikaian
bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang
bersifat non-internasional. Menurut Mochtar
Kusumaatmadja hukum humaniter adalah Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan
perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang
iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu
sendiri. Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk
melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan
“perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau
membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana
kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan.
Saran
Dengan
adanya proposal ini diharapkan kepada mahasiswa dapat mengetahui dan memahami
tentang Hukum Humaniter Internasional lebih khusus lagi mengenai jenis-jenis
konflik bersenjata.
Kita
sebagai manusia tentu masih banyak kekurangan oleh karena itu marilah kita
bersama saling mengisi kekurangan itu dengan berbagi pengetahuan. Penulis
menyadari bahwa kemampuan yang dimiliki masih sangat kurang dan sangat terbatas
untuk meningkatkan kemampuan penulis maka sangat diharapkan sumbangan-sumbangan
pemikiran dari mahasiswa lainnya / pembaca. Karena penulis memahami sebagai
seorang mahasiswa yang masih dalam tahap pembelajaran.
Daftar Pustaka
G
Strike, Pengantar Hukum Internasional edisi ke 2, Sinar Grafika
Prof.
DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H, LLM, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949,
Alumni, Bandun-2002
Drs.
T. May Rudy, S.H., MIR., M.Sc, Hukum Internasional 2, P.T Reifika Aditama-2009
Arlina
Permatasari, Pengantar hukum Humaniter, ICRC, Jakarta-1999
Dr.
Boer Mauna, hukum internasional edisi ke-2, P.T Alumni, Bandung-2001
Zulkarnain,
S.H, M.H & Insarullah, S.H, Buku Ajar Hukum Humaniter dan HAM, Fakultas
Hukum Untad, Palu, 2002
[1] J. G
Strike, Pengantar Hukum Internasional edisi ke 2, Sinar Grafika, hlm 78-79
[2] Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H,
LLM, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Alumni, Bandun-2002, hlm 12-14
[3] Drs. T.
May Rudy, S.H., MIR., M.Sc, Hukum Internasional 2, P.T Reifika Aditama-2009,
hlm 80
[4] Arlina
Permatasari, Pengantar hukum Humaniter, ICRC, Jakarta-1999, hlm 11
[5] J. G
Strike, Pengantar Hukum Internasional edisi ke 2, Sinar Grafika, hlm 89
[6] Dr. Boer
Mauna, hukum internasional edisi ke-2, P.T Alumni, Bandung-2001, hlm 254
[7] Drs. T.
May Rudy, S.H., MIR., M.Sc, Hukum Internasional 2, P.T Reifika
Aditama-2009,hlm749-753
[8] Zulkarnain,
S.H, M.H & Insarullah, S.H, Buku Ajar Hukum Humaniter dan HAM, Fakultas
Hukum Untad, Palu, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar