F. Perang, Konflik Bersenjata dan Damai
1. Perang
Perang
adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi.
Von Clausewitz, seorang militer dan filsuf Jerman mengatakan antara lain bahwa
perang adalah kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut
ia melihat bahwa hakekat kehidupan bangsa adalah suatu perjuangan sepanjang
masa dan dalam hal ini ia identikkan politik dengan perjuangan tersebut.
Negara yang
memulai perang, melakukannya dengan melancarkan serangan berkekuatan militer
terhadap Negara yang hendak ditundukkannya. Serangan dengan kekuatan militer
dapat berupa satu ofensif luas yang dinamakan invasi, juga dapat berupa
serangan dengan sasaran terbatas. Hal ini, mencerminkan adanya konflik bersenjata
dimana pihak-pihak yang berperang menggunakan kemampuan senjata yang dimiliki.
Konflik bersenjata umumnya terjadi antar Negara, namun konflik bersenjata bukan
perang dapat terjadi di dalam suatu Negara sebagai usaha yang dilakukan daerah
untuk memisahkan diri atau gerakan separatisme dengan menggunakan kekerasan
senjata, dan usaha terorisme baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Masalah-masalah
tersebut, ada yang berkembang sepenuhnya sebagai usaha domestik karena dinamika
dalam satu Negara, tetapi juga ada yang terjadi karena peran atau pengaruh
Negara lain. Meskipun masalah-masalah itu tidak termasuk perang, dampaknya bagi
Negara yang mengalami bisa sama atau dapat melebihi.
Dewasa ini
(pada masa damai), sering terjadi konflik di dalam suatu Negara yang dipandang
akan berdampak langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas suatu Negara.
Kesalahan tindakan preventif terhadap konflik yang terjadi, akan berakibat
fatal bagi keutuhan sebuah Negara. Pengalaman penanganan konflik etnik yang melanda
Uni Soviet dan Negara-negara bagian, misalnya, menyadarkan banyak Negara akan
arti pentingnya tindakan preventif untuk pencegahan konflik, agar tidak
berdampak negatif bagi keamanan nasional mereka. Pengalaman Uni Soviet, yang
gagal untuk mengantisipasi konflik menyebabkan Negara tersebut runtuh menjadi
serpihan-serpihan Negara kecil, ternyata telah menyadarkan banyak Negara akan
dampak langsung konflik bagi aspek pertahanan. Begitu pula sulitnya penanganan
konflik yang dipicu oleh masalah identitas agama yang menyebabkan konflik, yang
belum kunjung selesai di India antara Hindu dan Muslim sehingga Muslim
membentuk identitas tersendiri sejak akhir abad 19 mendorong setiap Negara
untuk mengantisipasi sifat dan jenis-jenis konflik yang mungkin berdampak bagi
faktor keamanan dan pertahanan.
2. Konflik
Bersenjata
Secara garis
besar, hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam Hukum
Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi jenewa
1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu :
1. “sengketa atau konflik bersenjata
yang bersifat internasional”(international armed conflict); serta
2. “sengketa bersenjata yang bersifat
non-internasional” (non-international armed conflict).
Pembagian
dua bentuk konflik ini adalah juga menurut Haryomataram. Haryomataram,
membagi dan menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut :
1) Konflik
Bersenjata yang bersifat Internasional
Ada beberapa
macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan
Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata
internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).
Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi
antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu”
adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state
entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori
konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan
ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I,
bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata
internasional.
Mengenai Internationalized
Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international
armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke
tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di
internasionalisir. Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict
not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi
Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan
II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol
tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol
Tambahan 1977.
Sengketa
bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata
antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa
bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah
ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949
beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
2) Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
Sengketa
bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang
pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang
saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C
antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa
perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk).
Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya
berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi
Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Di samping
mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut
Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada
salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para
ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk
merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional:
1. Dieter
Fleck
Konflik
bersenjata non-internasional adalah suatu konfrontasi antara penguasa
pemerintah yang berlaku dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang
bertanggung jawab atas anak buahnya, yang melakukan perlawananan bersenjata di
dalam wilayah nasional serta telah mencapai intensitas suatu kekerasan
bersenjata atau perang saudara.
2. Pietro
Verri
Suatu
konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan
bersenjata suatu negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan
pemberontak… Bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua
kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata
non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang
diperlukan seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi
rakyat pada konflik tersebut. Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa
konflik bersenjata non-internasional ini adalah sinonim dari perang saudara.
3.
Hans-Peter Gasser
Konflik
non-international adalah konfrontasi bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu
negara, yaitu antara pemerintah di satu sisi dan kelompok perlawanan bersenjata
di sisi lain. Anggota kelompok perlawanan bersenjata tersebut apakah
digambarkan sebagai pemberontak, kaum revolusioner, kelompok yang ingin
memisahkan diri, pejuang kebebasan, teroris, atau istilah-istilah sejenis
lainnya berperang untuk menggulingkan pemerintah, atau untuk memperoleh otonomi
yang lebih besar di dalam negara tersebut, atau dalam rangka memisahkan diri
dan mendirikan negara mereka sendiri. Penyebab dari konflik seperti ini
bermacam-macam; seringkali penyebabnya adalah pengabaian hak-hak minoritas atau
hak asasi manusia lainnya yang dilakukan oleh pemerintah yang diktator sehingga
menyebabkan timbulnya perpecahan di dalam negara tersebut.
Orang-orang
yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota
angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang
tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka,
penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan
dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan
atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau
kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka
tindakantindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan
terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga :
1. Tindakan kekerasan atas jiwa dan
raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam dan
penganiayaan;
2. Penyanderaan;
3. Perkosaan atas kehormatan pribadi,
terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
4. Menghukum dan menjalankan hukuman
mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang
dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui
sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.
Pasal 3
mengharuskan pihak-pihak penandatangan untuk memperlakukan korban sengketa
bersenjata internal menurut prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1.
Selain itu, Pasal 3 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan
menurut asas-asas perikemanusiaan, terlepas dari status apakah sebagai
pemberontak atau sifat dari sengketa bersenjata itu sendiri. Dalam Pasal 3
keempat Konvensi tahun 1949 ini terdapat semua pokok utama perlakuan korban
perang menurut Konvensi-konvensi 1949, sehingga pasal ini dinamakan juga
Konvensi Kecil (Convention in Miniature). Selanjutnya Pasal 3 ayat 2
Konvensikonvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus
dikumpulkan dan dirawat.
Sebuah badan
humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat
menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam
sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan
persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari
konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak akan
mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam sengketa.
Ketentuan yang menyatakan bahwa
Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan
jalan persetujuan-persetujuan khusus, menunjukkan bahwa dalam peristiwa
terjadinya sengketa dalam negara tidak dengan sendirinya seluruh
konvensi berlaku, melainkan hanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat 1.
Selanjutnya, kalimat diadakannya perjanjian-perjanjian demikian antara
pemerintah de jure dan kaum pemberontak tidak akan mempengaruhi
kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian, yang berarti bahwa maksud
dari Pasal 3 adalah sematamata didorong cita-cita perikemanusiaan dan tidak
dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu negara.
Jenis
Konflik yang tidak diatur dalam Hukum Humaniter
Selain ke
dua jenis konflik tersebut di atas, maka terdapat jenis konflik lainnya yang
tidak diatur dalam Hukum Humaniter. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal
1 ayat (2) Protokol II 1977 yang berbunyi : “Protokol ini tidak berlaku pada
situasi-situasi kekerasan dan ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara,
tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat sporadis dan terisolir, serta
tindakan-tindakan yang bersifat serupa lainnya, yang bukan merupakan sengketa
bersenjata”. Pada ilustrasi di atas, tidak terdapat tanda-tanda upaya pemisahan
diri dari negara induk, karena jenis konflik yang terjadi masih dalam koridor
ketegangan dan kekerasan dalam negeri dengan intensitas konflik yang relatif
masih rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar