B. Sejarah
Arbitrase.
Lembaga arbitrase sebgai salah satu ciri khas hubungan internasional merupakan
salah satu benih adanya hukum internasional dan hukum perdata internasional
meskipun padamulanya arbitrase ini timbul dalam bentuk sederhana.
Mulanya lembaga ini dalam pergaulan antra bangsa tidak dapat diterima begitu
saja seperti yang kita lihat dalam dunia modren, oleh karena merupakan
timbulnya suatu lembaga yang sangat penting dalam kehidupan manusia bernegara
menimbulkan kekaburan tentang tujuan lembaga arbitrase.
Pada lebih kurang 3100 sebelum masehi sebuah teraktat (perjanjian) dibuat oleh
raja-raja Negara kota tegash di Mesopotamia lainnya, dibuat dengan suatu
perjanjian tentang tapal batas kedua negara itu ditulis pada batau berpahat
dimana pimpinan kedua negara itu bersumpah kepada tujuh dewa untuk mematuhinya,
dan para dewa akan menghukum negara yang melanggar perjanjian ini. Disini,
mulailah timbul atas menghormati perjanjian yang telah dibuat.
Kondisi Pada
Zaman Penjajahan Hindia Belanda
Sebagai kita
ketahui pada waktu pemerintahan Hindia Belanda masih menguasai Indonesia,
penduduk Indonesia dibagi beberapa golongan yang mendasari adalah pasal 131 dan
163 Indisch Staatsregeling disingkat IS, berdasarkan IS tersebut ditetapkan
bahwa bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang disamakan berlaku hukum Barat.
Sedangkan bagi golongan Bumi Putra dapat juga berlaku hukum barat jika ada
kepentingan sosial yang dibutuhkan bagi golongan Cina dan Timur Asing lainnya
sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku hukum Barat dengan
beberapa pengecualian.
Karena adanya beberapa perbedaan hukum tersebut, konsekuensinya adalah adapula
perbedaan badan-badan peradilan berikut hukum acaranya peradilan untuk golongan
Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah
road Run Justice dan Residentiegerecht sebagai peradilan sehari-hari. Hukum
acara yang dipergunakan adalah hukum acara yang termuata dalam Reglement Of De
Burger Lijke Tectitordering yang disingkat B. RV atau RV.
Untuk golongan bumi putra dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan
golongan tersebut adalah Landraat sebagai peradilan sehari-hari dan beberapa
peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan daerah dan sebagainya.
Hukum acara yang dipergunakan adalah termuat dalam Herziene Inlandseh Reglement
disebut HIR, sedangkan untuk daerah pulau Jawa dan Madura diatur menjadi satu
dengan Rehtglement Buitengesvesten atau RBG.
Tata peradilan pada waktu Zaman Hindia Belanda diataur
sebagai berikut :
a.
Untuk pulau
Jawa dan Madura Berlaku peraturan organisasi Peradilan dan kebijakan kehakiman
di Hindia Belanda (Reglement Of De Rechter Lijke Organisatie En Het Beleidder
Justitie disingkat R.O)
b.
Untuk
Luar pulau Jawa dan Madura berlaku peradilan Daerah Seberang laut
(Rechtsreglemen Buitengewesten / RBG).
Sedangkan dasarhukum berlakunya Arbitrase pada zaman
koloniel belanda ini adalah pasal 377 HIR dan pasal 705 RBG yang berbunyi :
Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing mengkehendaki perselisihan mereka
diputuskan oleh juru pisah maka mereka wajib mentaati peraturan pengadilan
perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.
Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi
pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya diluar pengadilan. Namun
demikian HIR maupun RBG tidak membuat aturan tentang Arbitrase, untuk mengisi
kekosongan tersebut, pasal 337 HIR, 705 RBG langsung menunjuk aturan
pasal-pasal yang terdapat dalam Reglement hukum Acara Perdata (Reglement Of de
Bergerlijke disingkat RV. S 1847 – jo 1849 – 63).
Dengan adanya politik Hukum yang membedakan 3 kelompok
tersebut diatas, bagi golongan Bumi Putra, Hukum Perdata materil yang berlaku
pada dasarnya diterapkan Hukum Adat. Pengendaliannya tidak tidak pada
pengadilan landreed sebagai pengadilan tingkat pertama, Hukum Acara yang
dipergunakan adalah HIR untuk daerah pulau Jawa dan Madura dan RBG untuk derah
luar pulau Jawa dan Madura (tanah seberang).
Bagai golongan Timur Asing dan Eropa, Hukum Perdata
Materil yang berlaku adalah Burgerlijk Werboek / BW (KUH Perdata) dan Wetboek
Van Kophendel / WVK (kitap Undang Undang Hukum Dagang) Hukum Acara adalah
Reglement Acara Perdata (RV).
Pada zaman hindia belanda Arbitrase dipergunakan oleh
para pedagang baik sebagai eksportir mauapun importir dan pengusaha lainnya.
Pada waktu itu ada 3 badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh pemerintahan
belanda yaitu :
-
Badan
Arbitrase bagai badan Ekspor hasil bumi Indonesia
-
Badan
Arbitrase tentang kebakaran
-
Badan
Arbitrase bagi Asuransi kecelakaan.
Zaman
Penjajahan Jepang
Pada waktu jepang masuk mengantikan kedudukan
penjajahan belanda, peradilan Raod Van Jutitie dan Residentiegerecht
dihapuskan. Jepang membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang
yang diberinama (Tihoo Hooin). Badan peradilan ini merupakan lanjutan dari
Landraad hukum acaranya tetap mengacu kepada HIR dan RBG.
Mengenai berlakunya arbitrase ini, pemerintah jepang
mengeluarkan peraturan pemerintah bala tentara jepang yang menentukan bahwa
semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaan hukum dan Undang Undang dari
pemerintahan dahulu, pemerintah hindia belanda, tetap diakui sah sementara asal
tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang.
Setelah
Idonesia Merdeka
Untuk mencegah kefakuman hukum, pada waktu indonesia
merdeka diberlakukan lah pasal 11 aturan peralihan UUD 1945 tertanggal 18
Agustus 1945 yang menyatakan : segala badan Negara dan peraturn yang ada
langsung berlaku, selama belum ada yang baru menurut UUD ini.
Pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden juga telah
pengeluarkan peraturan nomor 2 yang dalam pasal (1) menyatakan : segala
Badan-badan Nagara dan Pemerintah-Pemerinta yang ada sampai berdirinya Negara
RI pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut Undang
Undang masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar
Tersebut.
Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian
sengketa melalui Arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR dan RV. Mengenai badan
peradilan dibeberapa bagian RI yang dikuasai
Belanda sebagai pengganti peradilan sehari dan appelroad sebagai peradilan
dalam perkara perdata tingkat kedua, selanjutnya pada masa terjadinya RIS
lanrecter ini manjadi pengadilan negeri sedangkan Appelroad menjadi pengadilan
tinggi, sesuai ketentuan yang berlaku didaerah-daerah yang tidak pernah
dikuasai oleh pemerintah belanda.
Ketika berlakunya Undang Undang Darurat Nomor 1 tahun
1951 Tanggal 14 Januari 1951, maka pada dasarnya diseluruh indonesia hanya ada
semacam badan peradilan yaitu pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat
pertama dan pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua atau manding dan
Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi, namun diluar itu masih
dikenal pangadilan Adat dan Swapraja.
Pada zaman RIS, menurut konstitusi yang berlaku saat
itu konstitusi RIS, dalam pasal 192 konstitusi RIS tersebut dinyatakan bahwa :
- Peraturan-peraturan,
Undang Undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat
konstitusi ini mulai berlaku (menurut Pasal 197 konstitusi RIS padasaat
pemulihan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1999) tetap berlaku dengan
tidak berubah sebagai peraturan-peratauran dan ketentan-ketentuan itu
tidak dicabut, ditambah atau dicabut oleh Undang Undang dan ketentuan tata
usaha atas kekuasaan konstitusi itu.
- Pelanjutan
peraturan-peraturan, Undang Undang dan ketentuan-ketentan tata usaha yang
sudah ada sebagai diterangkan dalam ayat (1) hanya berlaku, sekedar
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak bertentangan dengan
ketentuan piagam pemulihan kedaulatan status UNI, persetuan peralihan
ataupun persetujuan-persetujuan yang lain yang beruhubungan dengan
pemulihan kedaulatan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan
konstitusi ini tidak memerlukan peraturan-peraturan Undang-Undang atau
tidak menjalankan.
Selanjutnya jika kita lihat ketentuan dalam UUDS 1950
pasal 142 menyatakan bahwa : peraturan Undang Undang dan Ketentuan-Ketentuan
Tatausaha yang sudah ada pada tanggal 17 agustus tahun 1950 tetap berlaku
dengan dengan tidak berubah bagi peratuaran-peraturan dan ketentuan-ketentuan
RI sendiri, selama peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak
dicabut, ditambah atau di uabah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentan atas
kuasa Undang-Undang ini.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa semua
peraturan-peratuaran yang sudah ada sejak penjajahan hindia belanda dulu selama
belum diubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku, jadi ketentuan arbitrase
yang diatur RUU juga masih tetap berlaku, keadaan ini masih terus berlanjut
sampai dikeluarkannya Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa. Memperhatikan gerak dimamis perkembangan
dunia bisnis Indonesia yaitu meyangkut dinia perdagangan, keuangan dan industri
pada akhir-akhir ini telah menimbulkan leberlisasi Ekonomi, Industri dan
lain-lain sesuai dengan perinsip dunia usaha yang cepat namun efesien untuk
mendapatkan yang sebanyak-banyaknya. Birdirinya lembaga arbitrase sangat
diharapkan khususnya dunia perdagangan yang menginginkan agar sengketa-sengketa
yang terjadi dapat diselesaikan dengan cepat dan murah yang juga dapat menjaga
nama baik dan kepentingan-kepentingan para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan
keputusan-keputusan yang dilandasi oleh pengetahuan,
keahlian dan pengalaman yang memuaskan semua pihak. Oleh karena itu umumnya
pada perjanjian disebutkan klausula Arbitrase yang mengatur bahwa dalam hal
terjadinya perselisihan masalah itu akan diselesaikan melalui Arbitrase
Tidak ada komentar:
Posting Komentar