Rabu, 14 Oktober 2015

ARBITRASE APS(Alternatif penyelesaian sengketa) sejarah nasional dan internasional


B. Sejarah Arbitrase.
            Lembaga arbitrase sebgai salah satu ciri khas hubungan internasional merupakan salah satu benih adanya hukum internasional dan hukum perdata internasional meskipun padamulanya arbitrase ini timbul dalam bentuk sederhana.
            Mulanya lembaga ini dalam pergaulan antra bangsa tidak dapat diterima begitu saja seperti yang kita lihat dalam dunia modren, oleh karena merupakan timbulnya suatu lembaga yang sangat penting dalam kehidupan manusia bernegara menimbulkan  kekaburan tentang tujuan lembaga arbitrase.
            Pada lebih kurang 3100 sebelum masehi sebuah teraktat (perjanjian) dibuat oleh raja-raja Negara kota tegash di Mesopotamia lainnya, dibuat dengan suatu perjanjian tentang tapal batas kedua negara itu ditulis pada batau berpahat dimana pimpinan kedua negara itu bersumpah kepada tujuh dewa untuk mematuhinya, dan para dewa akan menghukum negara yang melanggar perjanjian ini. Disini, mulailah timbul atas menghormati perjanjian yang telah dibuat.


Kondisi Pada Zaman Penjajahan Hindia Belanda  
            Sebagai kita ketahui pada waktu pemerintahan Hindia Belanda masih menguasai Indonesia, penduduk Indonesia dibagi beberapa golongan yang mendasari adalah pasal 131 dan 163 Indisch Staatsregeling disingkat IS, berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang disamakan berlaku hukum Barat. Sedangkan bagi golongan Bumi Putra dapat juga berlaku hukum barat jika ada kepentingan sosial yang dibutuhkan bagi golongan Cina dan Timur Asing lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku hukum Barat dengan beberapa pengecualian.
            Karena adanya beberapa perbedaan hukum tersebut, konsekuensinya adalah adapula perbedaan badan-badan peradilan berikut hukum acaranya peradilan untuk golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah road Run Justice dan Residentiegerecht sebagai peradilan sehari-hari. Hukum acara yang dipergunakan adalah hukum acara yang termuata dalam Reglement Of De Burger Lijke Tectitordering yang disingkat B. RV atau RV.
            Untuk golongan bumi putra dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Landraat sebagai peradilan sehari-hari dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan daerah dan sebagainya. Hukum acara yang dipergunakan adalah termuat dalam Herziene Inlandseh Reglement disebut HIR, sedangkan untuk daerah pulau Jawa dan Madura diatur menjadi satu dengan Rehtglement Buitengesvesten atau RBG.
Tata peradilan pada waktu Zaman Hindia Belanda diataur sebagai berikut :
a.       Untuk pulau Jawa dan Madura Berlaku peraturan organisasi Peradilan dan kebijakan kehakiman di Hindia Belanda (Reglement Of De Rechter Lijke Organisatie En Het Beleidder Justitie disingkat R.O)
b.       Untuk Luar pulau Jawa dan Madura berlaku peradilan Daerah Seberang laut (Rechtsreglemen Buitengewesten / RBG).
Sedangkan dasarhukum berlakunya Arbitrase pada zaman koloniel belanda ini adalah pasal 377 HIR dan pasal 705 RBG yang berbunyi : Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing mengkehendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah maka mereka wajib mentaati peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.
Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya diluar pengadilan. Namun demikian HIR maupun RBG tidak membuat aturan tentang Arbitrase, untuk mengisi kekosongan tersebut, pasal 337 HIR, 705 RBG langsung menunjuk aturan pasal-pasal yang terdapat dalam Reglement hukum Acara Perdata (Reglement Of de Bergerlijke disingkat RV. S 1847 – jo 1849 – 63).
Dengan adanya politik Hukum yang membedakan 3 kelompok tersebut diatas, bagi golongan Bumi Putra, Hukum Perdata materil yang berlaku pada dasarnya diterapkan Hukum Adat. Pengendaliannya tidak tidak pada pengadilan landreed sebagai pengadilan tingkat pertama, Hukum Acara yang dipergunakan adalah HIR untuk daerah pulau Jawa dan Madura dan RBG untuk derah luar pulau Jawa dan Madura (tanah seberang).   
Bagai golongan Timur Asing dan Eropa, Hukum Perdata Materil yang berlaku adalah Burgerlijk Werboek / BW (KUH Perdata) dan Wetboek Van Kophendel / WVK (kitap Undang Undang Hukum Dagang) Hukum Acara adalah Reglement Acara Perdata (RV).
Pada zaman hindia belanda Arbitrase dipergunakan oleh para pedagang baik sebagai eksportir mauapun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada 3 badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh pemerintahan belanda  yaitu :
-         Badan Arbitrase bagai badan Ekspor hasil bumi Indonesia
-         Badan Arbitrase tentang kebakaran
-         Badan Arbitrase bagi Asuransi kecelakaan.
Zaman Penjajahan Jepang
Pada waktu jepang masuk mengantikan kedudukan penjajahan belanda, peradilan Raod Van Jutitie dan Residentiegerecht dihapuskan. Jepang membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberinama (Tihoo Hooin). Badan peradilan ini merupakan lanjutan dari Landraad hukum acaranya tetap mengacu kepada HIR dan RBG.
Mengenai berlakunya arbitrase ini, pemerintah jepang mengeluarkan peraturan pemerintah bala tentara jepang yang menentukan bahwa semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaan hukum dan Undang Undang dari pemerintahan dahulu, pemerintah hindia belanda, tetap diakui sah sementara asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang.
Setelah Idonesia Merdeka
Untuk mencegah kefakuman hukum, pada waktu indonesia merdeka diberlakukan lah pasal 11 aturan peralihan UUD 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan : segala badan Negara dan peraturn yang ada langsung berlaku, selama belum ada yang baru menurut UUD ini.
Pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden juga telah pengeluarkan peraturan nomor 2 yang dalam pasal (1) menyatakan : segala Badan-badan Nagara dan Pemerintah-Pemerinta yang ada sampai berdirinya Negara RI pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar Tersebut.
Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian sengketa melalui Arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR dan RV. Mengenai badan peradilan dibeberapa bagian RI yang  dikuasai Belanda sebagai pengganti peradilan sehari dan appelroad sebagai peradilan dalam perkara perdata tingkat kedua, selanjutnya pada masa terjadinya RIS lanrecter ini manjadi pengadilan negeri sedangkan Appelroad menjadi pengadilan tinggi, sesuai ketentuan yang berlaku didaerah-daerah yang tidak pernah dikuasai oleh pemerintah belanda.
Ketika berlakunya Undang Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 Tanggal 14 Januari 1951, maka pada dasarnya diseluruh indonesia hanya ada semacam badan peradilan yaitu pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua atau manding dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi, namun diluar itu masih dikenal pangadilan Adat dan Swapraja.
Pada zaman RIS, menurut konstitusi yang berlaku saat itu konstitusi RIS, dalam pasal 192 konstitusi RIS tersebut dinyatakan bahwa :
  1. Peraturan-peraturan, Undang Undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku (menurut Pasal 197 konstitusi RIS padasaat pemulihan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1999) tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peratauran dan ketentan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau dicabut oleh Undang Undang dan ketentuan tata usaha atas kekuasaan konstitusi itu.
  2. Pelanjutan peraturan-peraturan, Undang Undang dan ketentuan-ketentan tata usaha yang sudah ada sebagai  diterangkan dalam ayat (1) hanya berlaku, sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak bertentangan dengan ketentuan piagam pemulihan kedaulatan status UNI, persetuan peralihan ataupun persetujuan-persetujuan yang lain yang beruhubungan dengan pemulihan kedaulatan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan konstitusi ini tidak memerlukan peraturan-peraturan Undang-Undang atau tidak menjalankan.
Selanjutnya jika kita lihat ketentuan dalam UUDS 1950 pasal 142 menyatakan bahwa : peraturan Undang Undang dan Ketentuan-Ketentuan Tatausaha yang sudah ada pada tanggal 17 agustus tahun 1950 tetap berlaku dengan dengan tidak berubah bagi peratuaran-peraturan dan ketentuan-ketentuan RI sendiri, selama peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak dicabut, ditambah atau di uabah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentan atas kuasa Undang-Undang ini.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa semua peraturan-peratuaran yang sudah ada sejak penjajahan hindia belanda dulu selama belum diubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku, jadi ketentuan arbitrase yang diatur RUU juga masih tetap berlaku, keadaan ini masih terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Memperhatikan gerak dimamis perkembangan dunia bisnis Indonesia yaitu meyangkut dinia perdagangan, keuangan dan industri pada akhir-akhir ini telah menimbulkan leberlisasi Ekonomi, Industri dan lain-lain sesuai dengan perinsip dunia usaha yang cepat namun efesien untuk mendapatkan yang sebanyak-banyaknya. Birdirinya lembaga arbitrase sangat diharapkan khususnya dunia perdagangan yang menginginkan agar sengketa-sengketa yang terjadi dapat diselesaikan dengan cepat dan murah yang juga dapat menjaga nama baik dan kepentingan-kepentingan para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan keputusan-keputusan yang dilandasi oleh  pengetahuan, keahlian dan pengalaman yang memuaskan semua pihak. Oleh karena itu umumnya pada perjanjian disebutkan klausula Arbitrase yang mengatur bahwa dalam hal terjadinya perselisihan masalah itu akan diselesaikan melalui Arbitrase


Tidak ada komentar:

Posting Komentar